Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Solo. Fasilitas pendukung aksesibilitas penyandang disabilitas di dalam perguruan tinggi di Indonesia dinilai masih minim. Baru sedikit perguruan tinggi yang memiliki fasilitas difabel yang sesuai standar.
Hal tersebut disampaikan Staf Ahli Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) bidang Akademik, Paulina Pannen dalam seminar bertajuk 'Akses dan Akseptabilitas bagi Penyandang Disabilitas di Perguruan Tinggi' di Auditorium Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Kamis (7/12).
"Usaha-usaha memang sudah dimulai, tapi di seluruh Indonesia belum banyak. Hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu menyediakan fasilitas yang memudahkan civitas academica dalam belajar dan mencapai semua tempat dengan menjaga keselamatannya," kata Paulina.
Pembangunan akses bagi difabel terkendala persoalan anggaran dan perencanaan. Menurutnya, UNS merupakan salah satu perguruan tinggi yang paling aktif berkoordinasi dengan Kemenristekdikti dalam mendorong pembangunan akses bagi difabel.
"Kendalanya perencanaan harus detail, masalah pendanaan. Ini kan diatur oleh perguruan tinggi masing-masing, Menristekdikti tinggal mengamini. Selama ini UNS paling aktif," ujar dia.
Sedangkan dari sisi akseptabilitas, diskriminasi kepada difabel semakin menurun. Menurutnya pendidikan di Indonesia terus didorong menerapkan sistem inklusif.
"Saat ini tidak ada pembatasan pendidikan tertentu bagi penyandang. Cuma ada bidang ilmu tertentu yang tidak memungkinkan untuk difabel berpartisipasi. Misalnya buta warna tidak boleh jadi dokter, karena tidak tahu warna darah," katanya.
Pendidik diminta dapat menjadi fasilitator agar difabel dapat menghadapi tantangan ke depan. Sehingga ketika lulus, mahasiswa memiliki keterampilan yang teruji.
"Tidak ada peserta didik yang keluar dari institusi pendidikan tinggi tanpa dilengkapi keterampilan untuk hidup secara mandiri. Yakni memiliki kemampuan membuat keputusan dengan yang cerdas, kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara nonkekerasan, dan mampu berpikir kritis," tutupnya. (dtc)