Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta - Menko Perekonomian era Presiden Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie, diperiksa KPK terkait kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia mengaku ditanya kembali soal kebijakan yang diambilnya saat menjabat dulu.
"Yang ditanyakan pada saya adalah apa semua yang saya putuskan dan kebijakan apa yang saya ambil ketika saya menjabat sebagai Menko (Perekonomian) dan sekaligus Ketua KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan). Itu yang ditanyakan," ucap Kwik setelah menjalani pemeriksaan di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (11/12/2017).
Dalam kapasitas tersebut, Kwik mengaku diperiksa sebagai saksi fakta. Menurutnya, tidak ada yang baru dari pemeriksaan kali ini. Sebelumnya, Kwik juga pernah diperiksa pada Kamis (20/4) dan Selasa (6/6) lalu.
Dalam kasus ini, mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi tersangka terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI, yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
KPK menyebut Syafruddin mengusulkan disetujuinya KKSK perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Hasil restrukturisasi adalah Rp 1,1 triliun, yang dinilai sustainable (berkelanjutan) dan ditagihkan kepada petani tambak Dipasena, yang merupakan aset Sjamsul kala itu. Sedangkan selisihnya tidak dibahas dalam proses restrukturisasi.
Dalam pemeriksaan itu, Kwik juga membawa sejumlah dokumen. Dari yang tampak oleh detikcom, dia membawa dokumen keputusan Menko Perekonomian, Keuangan, dan Industri selaku Ketua KKSK tentang Kebijakan Restrukturisasi dan Penyelesaian Pinjaman bagi Debitur di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dalam kasus ini, kerugian negara mulanya diprediksi Rp 3,7 triliun. Namun, dalam audit terbaru BPK, KPK menyebut nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini menjadi Rp 4,58 triliun. Nilai itu disebabkan Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable, kemudian dilelang dan didapatkan hanya Rp 220 miliar. Sisanya, Rp 4,58 triliun, menjadi kerugian negara. (dtc)