Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Pemerintah menargetkan pengembangan energi baru terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, dan 31% pada tahun 2050. Deputi Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Montty Girianna, mengungkapkan di Indonesia , pemanfaatan EBT masih sangat rendah dibandingkan potensi yang ada.
Saat ini Indonesia baru memanfaatkan 8.216 GW dari potensi EBT sebesar 443.208 MW. Untuk geothermal saja, dari potensi panas bumi mencapai 29 GW, namun baru termanfaatkan sekitar 2 GW.
"Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo juga memiliki komitmen yang kuat untuk mendorong agar sektor ini terus tumbuh dan semakin berkontribusi. Komitmen ini tentunya akan dituangkan melalui berbagai kebijakan pemerintah, baik insentif fiscal, fasilitas pendanaan dan lain sebagai," kata Montty di Pertamina Energy Forum (PEF) 2017 di Hotel Raffles, Jakarta, Selasa (12/12/2017).
Menurutnya, pengembangan EBT memiliki sifat kedaerahan. Jika dikembangkan dengan baik, maka tak perlu ada distribusi energi dari satu daerah ke daerah lainnya, seperti energi batubara dari Kalimantan yang harus dibawa ke Jawa.
"Dengan konsep pengembangan energi yang bersifat kedaerahan, kebutuhan energi di masing-masing daerah akan dapat dipenuhi secara mandiri. Tak perlu lagi kita membawa energi yang sumbernya ada di Kalimantan, untuk dimanfaatkan di Jawa yang merupakan pulau dengan tingkat konsumsi energi tertinggi. Tentunya hal ini akan mampu menghemat biaya transportasi dan penyediaan infrastruktur," ujarnya.
Dia lantas membandingkan, India saat ini tengah membangun proyek 'Nehru National Solar Mission', yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 200 GW. Kemudian China, kini menjadi pemain EBT yang cukup diperhitungkan karena memiliki PLTS sebesar 78.1 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu sebesar 149 GW.
Toshiyuki Shirai, Analis Energi Senior World Energy Outlook (WEO), International Energy Agency, mengatakan saat ini Asia Tenggara tengah dihadapkan oleh permintaan energi terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi global. China sendiri menjadi negara dengan investasi energi terbarukan terbesar di dunia. Dari tahun 2017 hingga 2040, diproyeksi ada US$ 7 miliar yang diinvestasikan untuk pengembangan EBT.
"China saat ini menyumbang seperempat investasi di sektor energi terbarukan. Sementara China, India dan Asia Tenggara menyumbang 40 persen investasi di sektor energi terbarukan," ujar Toshiyuki.
Menurutnya, beberapa inisiatif kebijakan baru pun mulai dikeluarkan guna mengimplementasikan gerakan energi bersih, salah satunya yakni pengurangan anggaran subsidi bahan bakar fosil dan menaikkan anggaran untuk energi baru dan terbarukan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik, mengungkapkan untuk pengembangan sejumlah teknologi energi baru terbarukan perusahaannya relatif tertinggal, sehingga perlu melakukan percepatan dengan bekerjasama dengan pihak lain.
"Kami sadari fokus Pertamina yang selama ini fokus di bidang migas, kami perlu tingkatkan kapabilitas dalam energi baru terbarukan agar setara dengan pemain lain, penting bagi kami kerjasama dengan para pemain existing agar bisa. Untuk mengejar ketertinggalan itu kami tidak mungkin mulai dari nol, makanya kami berminat melakukan patnership atau berinvestasi di perusahaan yang sudah memiliki atau sudah kembangkan teknologi EBT lebih dulu," terang Elia.
Apalagi, lanjut dia, pemerintah menargetkan bisa mengubah ubah bauran energi sebanyak 23% berasal dari EBT pada tahun 2025. Sementara, pada tahun 2016 tercatat energi bersih tersebut baru berkontribusi sebesar 7%."Kita mulai dari nol untuk solar PV, angin, battery, itu terlalu lama. Bahkan kalau kita liat perusahaan-perusahaan besar seperti Total, ya dia kan melakukan akuisisi, dia enggak start dari nol. Nah ini langkah yang ikuti," tutur Elia. (dtc)