Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Semarang. Mahkamah Agung (MA) menguatkan vonis banding dan tetap membebaskan terdakwa korupsi pembebasan tanah di Banyumas, Eko Tjiptartono. Eko kini mempertimbangkan mengajukan gugatan ke kejaksaan atas penanganan perkara terkait dirinya.
Eko sempat ditahan selama 1 tahun 8 bulan dalam dua perkara yang dihadapi yakni aset tanah di Gunung Tugel, Kelurahan Karangklesem, Purwokerto, Jawa Tengah, seluas 6.077,28 meter persegi. Aset ini akan digunakan untuk pengolahan air oleh PDAM setempat.
Sedangkan pada Juli 2012, Eko diperkarakan karena dinilai melakukan melakukan mark up pada proses jual beli tanah tersebut. Menurut Eko justru dirinya menjual tanah kepada PDAM dengan harga di bawah pasaran karena sejak awal Eko bermaksud ikut membantu pemerintah agar suplai air dari PDAM ke masyarakat lancar.
"Saat saya tidak buka harga, Dirut PDAM sempat ragu, kemudian dia menawar RP 100 ribu (per meter). Ya saya persilahkan karena sifatnya untuk sosial dan saya bidangnya memang di pemberdayaan masyarakat. Saya senang saja," kata Eko saat dihubungi detikcom, Rabu (27/12/2017).
Saat itu Eko mempertanyakan proses hukum karena dinilai terlibat melakukan mark up hingga akhirnya divonis hakim Pengadilan Tipikor Semarang 1 tahun penjara setelah sempat banding ke Pengadilan Tinggi.
"Kalau saya terima vonis itu berarti saya terima kalau saya koruptor. Saya juga beri pemahaman ke anak-anak saya. Dari putusan kasasi itu saya bebas," ujarnya.
Eko sempat ditahan Kejari Purwokerto dan keluar pertengahan 2013 setelah menang banding. Kemudian tahun 2014 ia kembali dipermasalahkan oleh jaksa Purwokerto dengan perkara mengalihkan aset Pemkab Banyumas menjadi milik pribadi. Aset yang dimaksud masih merupakan tanah yang sama pada perkara pertama.
Saat itu Eko didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) juncto pasal 18 Undang Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU 31 tahun 1999 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP.
Dia dituntut 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta serta membayar uang pengganti kerugian sebesar Rp 6,1 miliar oleh Jaksa Kejari Purwokerto.
Pengadilan Tipikor Semarang kemudian menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 6,1 miliar. Pihak terdakwa dan jaksa kemudian sama-sama mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Jaksa selanjutnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sedangkan pihak terdakwa membuat kontra memori kasasi. Mahkamah Agung kemudian memutuskan bebas dan menolak kasasi jaksa.
"Perkara kedua saya sudah menjalani 8 bulan di Lapas Kedungpane (Semarang)," kata adik dari Prof Eko Budiharjo itu.
Menurut Eko, sejak perkara pertama ia sudah berusaha meminta adanya gelar perkara karena seluruh bukti kepemilikan tanah sudah dimilikinya dan sudah dikonfirmasi hingga tingkat Pemerintahan Provinsi Jateng.
Namun hal itu tidak pernah terjadi dan jaksa juga tidak bisa menunjukkan bukti tanah yang dipermasalahkan milik Pemkab Banyumas.
Eko juga mengaku merasa sakit hati karena niat baiknya justru membuat dirinya dituduh sebagai koruptor. Meski demikian ia masih akan berkonsultasi kepada kuasa hukum untuk langkah menggugat kejaksaan."Saya masih mau menikmati waktu bersama keluarga dulu. Masalah lainnya saya konsultasikan ke tim pengacara," kata Eko. (dtc)