Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan lemahnya penanganan kasus di reserse karena anggaran untuk memprosesnya kurang. Kapolri meminta Pemerintah menerapkan sistem anggaran ad cost pada reserse.
"Kelemahan kita dalam bidang reserse, saya paham bahwa komplain-komplain paling banyak di bidang reserse, betul. Kenapa? karena penanganan kasus," kata Tito di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (3/1).
Kapolri tak menutup mata terkait adanya praktik polisi minta uang ke pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah kasus. Dia ingin kebiasaan seperti itu dibenahi. Tito juga mengaku telah menyampaikan masalah ini ke Pemerintah.
"Memperbaiki masalah penganggarannya, sidik dan lidik supaya nggak minta ke pelapor ke tersangka dan lain-lain. Itu yang selama ini kita sampaikan kepada Pemerintah," ujar dia.
Tito kemudian menyinggung sistem anggaran untuk penanganan kasus di KPK yang menurutnya menjadi salah satu faktor keberhasilan lembaga antirasuah. Tito mengeluhkan sistem anggaran untuk penanganan kasus di kepolisian yang masih berdasarkan indeks.
"Kalau teman-teman di KPK menggunakan sistem ad cost, AFP atau Australian Federal Police, FBI menggunakan sistem ad cost, sementara Polri menggunakan sistem indeks, ya nggak akan mungkin bisa maksimal berkerja. Kenapa? dengan indeks maka kita melakukan empat kategori. Kasus yang penyidikannya sangat sulit, sulit, sedang, ringan. membedakan kasus ini aja kadang-kadang nggak gampang," jelas Tito.
Dia memberi contoh kasus penghinaan yang umumnya masuk kategori kejahatan ringan atau sedang. Tito mengungkapkan anggaran untuk kasus dengan tingkat kesulitan seperti itu Rp 7 juta.
"Kasus penghinaan itu kasusnya umumnya adalah sedang atau ringan, yang mana biayanya hingga Rp 7 juta," tutur dia.
Dengan anggaran senilai itu, Tito mengutarakan polisi mengeluarkan biaya lebih banyak dibanding kerugian materiil yang sedang ditangani.
"Jadi kalau ada istilah nanti lapor hilang ayam, polisi jadi kehilangan kambing, polisi kadang-kadang kehilangan sapi. Jangan salah," ucap Tito.
Contoh kedua yang Tito berikan adalah penanganan kasus yang menjadi sorotan publik, semisal pembunuhan. Dia menceritakan untuk mengungkap kasus dengan tingkat kesulitan tinggi dan menjadi perhatian masyarakat, polisi dapat mengerahkan hingga 150 hingga 160 personel. Dan anggaran untuk kasus yang sulit, imbuh Tito, adalah Rp 70 juta.
"Contoh kasus besar, jadi tekanan publik. Pembunuhan, penganiayaan, tapi menjadi sorotan publik besar misalnya. Itu indeksnya mungkin masuk sangat sulit misalnya, 70 juta. Tapi kita menggerakkan 150-160 anggota ke sana-kemari. Dari mana duitnya? Negara mampu nggak membayar?," terang dia.
"Kalau yang di Amerika saya tahu persis, FBI cukup dengan menggunakan semua dikasih credit card, tinggal gesek berapapun juga. Itu namanya ad cost. Berapapun juga diperlukan dalam rangka penyidikan itu dibayar oleh negara," lanjut dia.
Tito menerangkan untuk mencukupi anggaran penanganan kasus, reserse menggunakan dana kontijensi, dana dukungan kapolri atau dana revisi dari anggaran lainnya.
"Kasus penghinaan tapi saksinya ada di luar negeri, sudah terlanjur pulang ke negaranya, kita harus berangkat ke sana. Indeksnya penghinaan itu kasusnya ringan, begitu berangkat ke sana keluar biayanya 150 juta, dari mana? Kita menggunakan dana kontijensi, dukungan kapolri, atau revisi anggaran lainnya," pungkas Tito.
"Itu tentu mengganggu sistem anggaran lainnya. Itu persoalan mendasar kita juga masalah penganggaran," tutur dia. (dtc)