Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Pagi-pagi benar Tinus (samaran) sudah memacu sepeda motornya. Ia sudah harus berkumpul sebelum matahari muncul. Seperti biasa ia dan teman-temannya sesama Buruh Harian Lepas (BHL) di salah satu PTP N terkemuka yang ada di daerah ini, sebelum bekerja terlebih dulu mereka akan mendengar arahan sang mandor. Setelah itu mereka akan berpencar ke areal masing-masing. Hari itu Tinus diberi tanggungjawab mandodos 6 hektar sawit yang rata-rata tingginya delapan meter. Tinus seperti temannya yang lain, bekerja sendiri-sendiri di tengah hutan sawit yang gelap itu.
Setiap 1 kilogram sawit yang mereka dodos, mereka diberi upah Rp 50. Tinus mengaku ia pernah berhasil mengumpulkan 40 ton selama 1 bulan. Dengan kata lain upah yang diterima Rp 2 juta. Tapi nyatanya upah yang ia terima tidak sampai sebesar itu.
“Itu terjadi di awal-awal aku kerja, Bang. Kuhitung-hitung ada 40 ton jadi upahku harusnya Rp 2 juta. Tapi yang kuterima nggak sampai Rp 1 juta, Bang. Mau protes mandornya sudah lebih dulu marah-marah,” akunya.
Begitulah Tinus mengisahkan kisahnya selama kurang lebih 4 tahun menjadi BHL di PTP N. Ia bergabung karena diajak temannya yang lebih dulu bekerja sebagai BHL di tempat itu. Di awal-awal bekerja, Tinus mengaku nyaris putus asa. Ia tidak menyangka begitu keras dan sakitnya bekerja sebagai BHL. Hari-hari pertama ia sempat bolak-balik sakit karena harus mengangkat tandan sawit yang beratnya bisa mencapai puluhan kilo.
Belum lagi ia harus menempuh medan yang sulit. Mengangkat tandan sawit yang beratnya puluhan kilo di jalanan yang menanjak dan menurun bukanlah pekerjaan mudah. Bila malamnya hujan, sudah pasti medan yang harus mereka tempuh penuh lumpur. Semua itu belum terasa dibanding dengan duri-duri sawit yang menusuk-nusuk punggungnya.
Akan lebih menyedihkan lagi saat mereka mandodos, hujan tiba-tiba turun. Para BHL itu tidak tahu harus berteduh dimana. Tak ada pondok. Tidak ada teman. Ditambah lagi suasana yang gelap di tengah htan sawit. Namun meski begitu mereka tetap harus menahankan semua risiko itu. Walau tubuhnya menggigil mereka tetap harus mandodos untuk mencapai target yang diberikan. Jika tidak mandor akan marah-marah.
“Waktu pertama kali kerja, sering kali aku jatuh bang. Kadang badan tertusuk tunggul kayu. Kadang masuk ke lumpur,” katanya. Ia juga mengaku badannya pernah dikerumuni lintah dan pacet. Keesokan harinya ia sampai meriang dan tidak bisa bekerja.
Lain hari Tinus mengaku hampir mati dipatok ular kobra. Waktu itu Tinus sedang mendodos tandan sawit berukuran besar. Ia tak sadar di balik tandan sawit itu bersembunyi ular kobra. Ketika tanda sawit itu jatuh, ular itu sudah bersiap mematoknya dalam kondisi melilit di batang sawit. Tinus mengaku sangat terkejut dan ketakutan. Tapi ia harus mematikan ular itu, karena menurut cerita-cerita teman-teman sebelumnya, ular itu akan muncul kembali jika tidak dibunuh.
“Katanya memang gitu bang. Kalau ular dah terganggu sekalian harus dibunuh. Kalau gak dia bisa muncul lagi dan mematok tanpa kita sadari. Panjang ular itu diakui Tinus kurang lebih 3 meter. Mungkin king kobra," lanjutnya.
“Sejak dulu dah mau kutinggalin kerja ini bang. Kita disuruh kerja pake target, padahal kita bukan karyawan. Enggak ada gaji pokok atau BPJS, tapi kerjanya kayak karyawan aja. Kalau kita kecelakaan kita sendiri yang nanggung. Kayak kemarin kakiku sobek, biaya jahit dan pengobatannya pake uang sendiri. Sementara upah yang kita terima habis untuk biaya perbaikan kereta. Setiap minggu wajib servis,” katanya.
Diakui Tinus sekalipun sulit, ia tetap berusaha semangat melakukan pekerjaannya itu. Satu-satunya yang membuat Tinus bertahan adalah harapan untuk bisa diangkat jadi karyawan tetap, seperti yang sering diucapkan kawan-kawannya yang lain.