Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Tunggal Panaluan adalah salah satu karya seni (ukir) masyarakat Batak Toba. Benda berbentuk tongkat dengan penuh ukiran ini sejak dulu telah menarik perhatian para peneliti budaya Batak Toba. Mereka tidak hanya tertarik dengan keindahan ukirannya, namun juga dengan cerita yang melingkupinya.
Karenanya tidak heran bila tongkat yang rata-rata berukuran 170 cm ini juga turut dibawa Belanda, bersama dengan benda budaya lainnya, ke negara mereka. Beruntung tongkat berkepala manusia lengkap dengan rambut ini masih banyak kita temukan di toko-toko cinderamata yang ada di kawasan Danau Toba. Benda ini termasuk yang paling sering dibuat para pengrajin, karena banyak peminatnya.
Sampai kini sebagian besar masyarakat Batak Toba meyakini unsur mistis yang ada pada tongkat ini. Benda ini dianggap memiliki kekuatan gaib, seperti untuk meminta hujan, menahan hujan (manarang udan), menolak bala, wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri, membantu dalam peperangan.
“Kalau kita lihat ceritanya, wajar bila tongkat ini dianggap punya kekuatan. Ukiran-ukiran yang ada pada tongkat itu mempunyai cerita tersendiri. Tetapi menurutku cerita itu lebih kepada kearifan supaya manusia tidak melakukan incest sebagaimana salah satu versi cerita Tunggal Panaluan,” kata salah seorang budayawan Batak Toba, Raja Sidabutar, kepada medanbisnisdaily.com, di Medan, Selasa (9/1/2018).
Dijelaskannya, tunggal panaluan terbuat dari kayu tada-tada. Tunggal berarti satu, sementara panaluan bermakna selalu mengalahkan. Salah satu cerita tentang tunggal panaluan pandangan orang Batak Toba, terkait incest (perkawinan sedarah). Mereka adalah Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring,dengan saudari kembarnya, Si Tapi Nauasan Siboru Panaluan atau Si Tapi Omas. Sejak awal kelahiran mereka, para orangtua di kampung menyuruh agar keduanya dipisahkan, namun Hatia Bulan, ayahnya, menolak.
Benar saja ketika dewasa, mereka bertingkah seperti sepasang kekasih. Mereka pun dibuang ke hutan. Pada suatu waktu, Si Tapi Omas memanjat sebuah pohon untuk mengambil buahnya. Tetapi ia malah lengket pada pohon tersebut. Melihat itu, Aji Donda Hatautan, saudara kembarnya, memanggil dukun bernama Parmanuk Holing. Dukun itu malah ikut terseret dan lengket melengkung di pohon. Kemudian, dipanggil lagi dukun yang lain, dari Si Ajui Bahir, dukun Marangin Bosi namanya, dan dukun Pongpang Niobungan, serta Boru Sibasopaet yang datang bersama seekor ular.
Namun, kedua bersaudara itu tetap tak bisa dilepaskan. Begitu seterusnya setiap yang berusaha melepaskan orang itu ikut lengket. Akhirnya dengan putus asa Guru Hatia, ayah mereka meminta agar ia diberi dahan kayu itu. Dahan kayu itu kemudian diukir dengan motif orang-orang yang lengket di pohon itu untuk mengenang mereka.
“Karena cerita itulah sampai sekarang orang Batak akan memisahkan anaknya yang kembar lain jenis kelamin. Mereka takut kejadian itu berulang. Ini merupakan kearifan lokal tersendiri bagi orang Batak, karena dunia psikologi pun juga mengakui hal itu,” katanya.