Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Banyak ruang publik yang didistorsi oleh politik. Termasuk tradisi dan budaya. Politik telah menjadi panglima. Hal itu harus ditentang. Mestinya budaya adalah panglima. Di Amerika maupun di Jepang yang menjadi panglima adalah budaya. Budaya yang mewarnai cara berpolitik, berekonomi dan berteknologi dan negara itu.
Dampaknya, setiap kali konsep dan gagasan budaya dibangun, yang terlihat adalah warna politik. Sementara politik cenderung membawa perpecahan dan hegemoni. Inilah yang terjadi sehingga bangsa Indonesia yang kaya keragaman budaya berikut kearifan lokalnya tidak tampak sebagai bangsa yang berbudaya.
Demikian disampaikan etnomusikolog dari Universitas Sumatra Utara (USU), Irwansyah Harahap, kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu (13/1/2018). Irwansyah yang baru saja pentas di Brussel, Belgia dan Den Haag, bersama grup Mataniari, menekankan pentingnya kembali ke akar tradisi.
“Untuk membangun saling pengertian, kita perlu kembali ke akar tradisi dan budaya. Dengan memahami akar tradisi sendiri kita juga akan mudah memahami akar tradisi orang lain. Itulah cikal bakal tumbuhnya toleransi,” ungkapnya.
"Kemarin kami mengikuti Europalia Arts Festival. Kami membawa seniman tradisi 3 zaman. Termasuk Marsius Sitohang dan juga 3 seniman yang berasal dari Parmalim. Lewat pentas itu, kami tidak sekadar manggung, tapi berbagai nilai dan pengetahuan kebudayaan yang kami miliki. Sebaliknya kami juga belajar kebudayan dari negara lain yang terkespresikan lewat event itu," ujarnya lagi.
Menurut peraih Anugerah Kebudayaan 2017 dari Kemendikbud sebagai Peneliti dan Pelopor World Music di Indonesia itu, generasi sekarang ini telah kehilangan akar tradisi dan budayanya. Banyak hal yang menyebabkan hal itu. Salah satunya karena formula pendidikan di negeri ini belum tuntas menempatkan kesenian tradisi. Sehingga dunia pendidikan mengadopsi pendidikan barat.
"Ironisnya, kita tak mampu memilah-milah yang terbaik bagi kita. Sebagai contoh anak muda kita kini tergila-gila dengan dunia digital. Padahal di barat produk teknologi itu hanyalah sebuah pilihan. Itu hanyalah salah satu ruang. Tetapi di Indonesia itu tampak seperti segala-galanya,” terangnya.
Mantan Ketua Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU ini menyerukan anak-anak muda untuk kembali pada akar tradisi dan budayanya. Hari ini dengan gegap gempita digitalisasi, dimana segalanya menjadi tak terbatas, akar tradisi dan budaya menjadi sangat penting. Harus ada kesadaran bahwa setiap sesuatu yang menjulang tinggi selalu ada akarnya.
"Itu akan lebih kuat jika dibarengi dengan diseminasi pengetahuan. Ini bukan hanya tanggungj awab akademisi, tetapi juga media. Media harus sering menyampaikan pengetahuan akan tradisi dan budaya. Dengan begitu orang Aceh akan tahu tentang tradisi dan budaya yang ada di Papua. Termasuk dengan instrument-instrument budaya itu sendiri," papar Irwansyah.