Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kabar duka datang dari dunia sastra Sumatera Utara. Salah seorang kritikus sastra, Syaiful Hidayat yang dimiliki daerah ini dikabarkan meninggal dunia pada Sabtu (13/1/2018) akibat penyakit kompilkasi yang dideritanya sejak lama.
“Benar kritikus sastra Syaiful Hidayat telah meninggal dunia. Ia adalah salah seorang kritikus sastra yang sejati yang sangat dihormati di daerah ini,” ujar Suyadi San, rekan almarhum kepada medanbisnisdaily.com.
Dalam dunia sastra di Sumatera Utara, Syaiful dikenal sebagai salah seorang kritikus sekaligus esais yang banyak memberikan sumbangan pemikirannya kepada sastra lokal. Salah satunya ia aktif di Omong-omong Sastra, kegiatan berkala yang digelar para sastrawan Sumut.
Dari database yang dimiliki pengurus Omong-omong Sastra disebutkan, Saiful Hidayat lahir di Aeknabara, Kabupaten Labuhanbatu, 22 Februari 1965. Tahun 1993 ia menamatkan kuliahnya di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (FS USU) Medan.
Sejak tahun 90-an, sebagai kritikus ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai seminar sastra di berbagai daerah di Indonesia. Antara lain sebagai pembicara pada “Orientasi kebudayaan Nasional Indonesia” di Universitas Bung Hatta Padang (1991). “Kecenderungan Baru Perpuisian Medan” pada Diskusi dan Baca Puisi di FBS IKIP Negeri Medan (1994), “Sastra Medan: Nasib dan Masa Depannya” pada Diskusi Sastra Renungan Seni di TBSU (1995), “Visi Novel Indonesia Masa Orde Baru” pada Diskusi Sastra dan Baca Puisi Lingkungan Hidup yang diselenggarakan Bina Sastra di TBSU (1998), “Peta Sastra Modern Medan” pada Dialog Utara X di Yala, Thailand Selatan (2003).
Syaiful yang juga seorang guru di salah satu sekolah di Medan ini, juga kerap menghadiri kegiatan sastra di beberapa daerah, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dia mengikuti Sarasehan Teater Medan di FS USU (1987), Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kayutanam, Sumatera Barat (1997), Temu Sastrawan Se-Sumatera di Banda Aceh (1999), Temu Penyair Nasional di Tasikmalaya (1999), Dialog Utara IX di Medan dan Sipirok (2001), Festival Kebudayaan Pattani di Thailand Selatan (2003), Festival Teater Alternatif di Gedung Kesenian Jakarta (2003), dan Kongres Bahasa Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta (2003).
Ulasan sastranya berjudul “Kesadaran Berbau Melayu Muncul Kembali dalam Perpuisian Indonesia Modern” terdapat dalam buku Lantun: Kumpulan Tulisan Alumni yang diterbitkan USU Press (1995). Kemudian, makalahnya dalam “Omong-Omong Sastra” di rumah H. Maulana Syamsuri di Medan Johor, 11 April 2004, terdapat dalam buku 25 Tahun Omong-Omong Sastra: Makalah yang dibentang, bandingan, serta publikasinya yang diterbitkan Sastera Leo Medan (2002).
Ulasan puisinya menjadi pengantar buku Bumi: Antologi Puisi 18 Penyair Sumatera Utara yang diterbitkan Studio Seni Indonesia, Medan (1996) dan menjadi ulasan penutup buku Dalam Kecamuk Hujan: Kumpulan Puisi Sembilan Penyair Sumatera Utara yang diterbitkan Kedai Sastra Kecil (KSK) Deliserdang (1997). Selain bergelut di bidang sastra, ia juga salah seorang pendiri Teater O USU. Sejumlah ungkapan belasungkawa datang dari para seniman. “Ia adalah guru sekaligus sahabat yang baik. Dunia sastra Sumatera Utara telah kehilangan salah satu kader terbaiknya,” ujar salah seorang pegiat Teater O USU, Agust Mulia.