Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Yogyakarta - Aktivis reformasi yang juga tokoh penggerak peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari, Hariman Siregar, tekesan enggan mengomentari lemahnya daya kritis mahasiswa saat ini terhadap penguasa. Namun dia punya catatan tersendiri. Apa itu?
"Tidak tahu, tidak tahu. Kalau mereka, jangan-jangan suatu waktu meledek sendiri," kata Hariman kepada wartawan seusai diskusi 'Mengembalikan Reformasi yang Kita Mau' di University Club (UC) UGM, Senin (15/1/2018).
Namun dia berharap aktivis mahasiswa tetap kritis terhadap penguasa, sehingga berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat tertangani. Bukan justru aktivis mahasiswa menjadi corong penguasa.
"Kan sejarahnya kita tahun 73 mulai, habis itu kan terus saja rangkaiannya," paparnya.
Dalam kesempatan ini Hariman juga menjelaskan penyebab meletusnya peristiwa Malari. Menurutnya, Malari adalah wujud perjuangan mahasiswa waktu itu tentang program pembangunan yang dijalankan pemerintah.
"Kita menuntut supaya strategi pembangunan itu berorientasi pada (pengentasan) kesenjangan, kemiskinan itu. Tetapi kan waktu itu kita langsung dituduh melawan GBHN, melawan itu lah," jabarnya.
Berangkat dari peristiwa Malari, setelahnya disusul berbagai aksi serupa hingga Soeharto jatuh di tahun 1998. Setelahnya berlangsung era reformasi dengan sistem demokrasi yang dijalankan sampai sekarang ini.
Tetapi, kata Hariman, ternyata sistem demokrasi yang diterapkan belum menyelesaikan masalah yang ada. Buktinya berbagai persoalan seperti kesenjangan ekonomi masih terus saja ada di negeri ini.
"Siapapun yang menjadi pemimpin harus dengar ini, jangan asal kuasa, kuasa, kuasa. Terlalu banyak taken-taken janji. Bagaimana kamu mau bikin program, kalau teken-teken janji ini apa, pembagian kekuasaan," tutupnya. dtc