Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Meedanbisnisdaily.com - Jakarta - Amarah mahasiswa menyulut kerusuhan saat peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Salah satu unsur yang lama terpendam yang menjadi pemicunya adalah razia rambut gondrong dan celana jins ketat.
"Waktu itu yang diingat adalah sejak 1968 pemerintah membuat gerakan anti-Barat yang menganggap jins itu celana koboi," ujar Yapi Panda Abdiel Tambayong alias Remy Silado kepada detikcom, Senin (15/1/2018).
Musik rock and roll dan gaya hidup Hippies sedang merebak di kalangan mahasiswa kala itu. Remy menyebut gaya personel band The Beatles sebagai gaya anak muda paling populer ditiru mahasiswa, termasuk oleh dirinya. Rambut mereka gondrong dan mengenakan celana jins ketat.
Pada 1971, TVRI mencekal para seniman berambut gondrong. Selain Remy, yang pernah kena getah adalah Sophan Sophiaan, Broery Marantika, Trio Bimbo, WS Rendra, Umar Kayam, Ireng Maulana, hingga penyait Taufiq Ismail.
Polisi melakukan razia begitu saja. Mahasiswa yang memakai jins ketat dipaksa mencopot celana dan digunting. Kalau rambutnya gondrong, langsung digunduli di muka umum.
Rasa sebal mahasiswa semakin menjadi-jadi saat pemerintah memberlakukan 'wajib latih mahasiswa', semacam pelatihan militer dalam rangka dwifungsi ABRI. Protes mulai digelar di mana-mana. Tetapi polisi mengacuhkan dan terus menggelar razia jins ketat dan rambut gondrong.
Puncak kemarahan adalah keributan pendukung sepakbola antara mahasiswa ITB dan Akabri Kepolisian. Mahasiswa dari Universitas Padjadjaran dan Parahyangan turut menjadi pendukung mahasiswa. Kerusuhan pecah di tengah pertandingan.
Seorang mahasiswa bernama Rene Louis Conrad tengah mengendarai sepeda motor datang untuk mencari tahu. Tetapi ia malah ditembak oleh seorang taruna Akabri. Mayatnya dibuang ke mobil dan digeletakkan begitu saja di kantor polisi.
Rene merupakan mahasiswa berwajah bule dengan rambut gondrong dan mengenakan celana jins ketat. Amarah mahasiswa merebak dan kabar yang tersiar adalah polisi tak mengusut taruna itu karena anak jenderal. Seorang polisi berpangkat brigadir dua, Djani Maman Surjaman, tahu-tahu diajukan sebagai terdakwa. Beberapa taruna yang duduk sebagai terdakwa lolos dari hukuman berat. Mereka melanjutkan pendidikan dan bertugas di kepolisian.
Amarah inilah yang menjadi pembakar kebencian mahasiswa kepada pemerintah saat peristiwa Malari meletus. Dendam atas razia polisi dan kematian Rene membuat aksi mahasiswa semakin panas. "Inilah yang tambah bikin ramai. Mereka semakin benci kepada pemerintah dan mendukung aksi Malari," ucap Remy.
Malari sendiri pecah pada saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia. Kerusuhan merebak di sejumlah sudut Jakarta. Aparat militer menuding mahasiswa di balik aksi rusuh sudah mempersiapkan aksi ini sejak lama.
Kepala Badan Koordinasi Intelijen (Bakin/sekarang BIN) Jenderal Yoga Sugomo melakukan penyelidikan pascahuru-hara Malari. Buku Memori Jenderal Yoga yang ditulis oleh B Wiwoho dan Banjar Chaeruddin menyebutkan aksi mahasiswa ini ditunggangi oleh kepentingan politik.
Tim penyusun laporan kepada Jenderal Yoga menyebutkan ada penggalangan dana yang dilakukan beberapa orang ke negara Timur Tengah dan menghubungi Central Intelligence Agency (CIA). Jenderal Yoga pun menganggap peristiwa Malari bukan murni gerakan mahasiswa lagi.
"Para mahasiswa sulit mempertahankan kemurnian gerakan intelektual mereka dan sangat mudah ditunggangi oleh kepentingan unsur nonkampus bila gerakan itu menjurus kepada politik praktis," tulis buku itu. dtc