Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pada masyarakat Karo dikenal satu tradisi “Muncang Kuta”. Tradisi turun temurun ini merupakan wujud penghormatan masyarakat Karo kepada alam sekitar dan leluhur mereka.
Tujuan ritual ini untuk membersihkan kampung dari pengaruh roh-roh jahat. Kehadiran roh-roh jahat di suatu kampung menurut keyakinan masyarakat Karo ditandai dengan munculnya satu bencana. Baik berupa gagal panen, musim kemarau berkepanjangan maupun wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Karenanya kampung harus segera dibersihkan.
Hal itu dikatakan salah seorang pegiat budaya Karo dari Komunitas Budaya Karo Simalem, Permata Bangun kepada medanbisnisdaily.com, Senin (22/1/2018).
Ditambahkannya, upacara muncang kuta dahulunya selalu rutin dilaksanakan di setiap perkampungan masyarakat Karo. Ritual ini dimulai dengan berziarah dan membersihkan makam para tetuah yang ada di kampung itu. Makam itu dikelilingi sambil menarikan dikkar yakni silat Karo. Selama ritual berlangsung musik tradisional Karo terus mengiringi ritual.
“Dalam ritual itu musik merupakan hal yang paling penting. Musik merupakan mediasi untuk mengundang roh leluhur datang dan menyampaikan pesannya. Karenanya selama musik mengalun semua peserta yang hadir harus hening,” tutur Bangun.
Ditambahkannya, setelah acara mengelilingi makam selesai, masyarakat akan kembali ke balai desa bersama dengan orang yang dirasuki roh leluhur penjaga kampung itu. Di sana masyarakat dengan bantuan mediator akan berkonsultasi dengan orang yang dimasuki roh itu. Kegiatan itu disebut dengan erpenungkuni. Masyarakat boleh mengadukan persoalan pribadinya langsung. Setelah itu dilanjutkan dengan ritual puncak dimana masyarakat akan mengelilingi kampung mereka untuk mengusir roh-roh jahat serta menolak bala. Selain itu setiap rumah juga akan dimasuki untuk dibersihkan.
“Menurutku ritual ini kaya akan nilai-nilai. Salah satunya menggambarkan wujud kebersamaan sesama masyarakat. Selain itu dari sisi ekologis juga ada dampak positifnya. Karena dalam kegiatan Muncang Kuta, juga biasanya digelar kegiatan membersihkan sumber-sumber mata air yang ada di kampung mereka,” katanya.
Sampai kini ritual ini masih terus dilakukan di berbagai perkampungan masyarakat Karo. Namun upacara tidak lagi menjadi kegiatan rutin seperti dulu. Hanya digelar jika dirasa perlu saja.
Dulu kegiatan ini dipusatkan di Lau Debuk-debuk, di kaki Gunung Sibayak. Bagi masyarakat Karo yang menganut aliran kepercayaan (Pemena) Lau Debuk-Debuk adalah salah satu tempat suci.
?Namun sejak masuknya agama khususnya Kristen di Tanah Karo, tradisi ini perlahan-lahan mulai dilupakan. Sebagian masyarakat Karo menganggap tradisi ini berbau mistik. Padahal soal mistik atau tidak tergantung cara pandang dan tujuan ritual itu dilakukan," ujar Bangun.