Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Salah satu kebijakan Daoed Joesoef sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan adalah pemberlakuan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang membuat kampus jadi kawasan "steril" dari aktivitas politik. Kebijakan itu diikuti dengan pembubaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di tiap perguruan tinggi.
Dalam pandangan Daoed Joesoef, mahasiswa adalah manusia penganalisis. Karena itu mereka wajib mengembangkan nalar, baru sesudahnya boleh menjadi manusia panggung. Tapi yang terjadi sejak 1966 hingga meletusnya Malari 1974, di mata Daoed para mahasiswa tak lebih dari para 'Pangeran Manja'.
Segenap aktivitas mahasiswa di lingkungan kampus, tulis Daoed Joesoef dalam buku Rekam Jejak Anak Tiga Zaman, tak lagi sesuai dengan hakikat kampus sebagai komunitas ilmiah. Akibatnya tidak lagi kondusif bagi usaha pemenuhan kebutuhan demokrasi akan pembentukan masyarakat sipil. Padahal eksistensi masyarakat sipil ini, seharusnya menjadi ideal gerakan mahasiswa dan bukan menjadi politikus insidental-sporadis di jalan raya.
"Pada langkah awalnya sebagai politikus ini saja, mahasiswa sebenarnya sudah melakukan sejenis korupsi, korupsi intelektual kalaupun bukan mental, disengaja atau tidak," tulis Daoed.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and Internastional Studies (CSIS) Philip J. Vermonte mengungkapkan lewat kebijakan NKK/BKK itu sebetulnya Daoed Joesoef ingin agar para mahasiswa menjadi pemikir seperti Bung Hatta. "Itu yang pernah beliau sampaikan selepas diskusi soal Hatta di CSIS, bahwa mahasiswa itu harus menjadi pemikir seperti Hatta, bukan sibuk demonstrasi," kata Philip kepada detik.com melalui telepon, Rabu (24/1/2018).
Ia mengaku sempat menyanggah pendapat Daoed itu secara berguyon, bahwa sejatinya Hatta telat lulus kuliah di Belanda karena terlampau asyik berorganisasi dan berpolitik.
Saat kebijakan itu mulai diberlakukan, Philip mengaku masih duduk di sekolah dasar. Di era Menteri Pendidikan Fuad Hasan keputusan Daoed itu dicabut dengan menerbtkan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK) pada 1990.
Terlepas dari segala kontroversinya, sosok Daoed Joesoef layak diteladani para mahasiswa dan akademisi. Di usia 90 tahun, kata Philip, pendiri CSIS itu masih aktif menulis di surat kabar dan menulis buku. "Buku Rekam Jejak Anak Riga Zaman itu diluncurkan di CSIS Oktober lalu, sekaligus merayakan ulang tahun beliau," ujar Philip. (dtc)