Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Jaksa KPK mencecar Kepala Bakamla (Kabakamla) Laksamana Madya Arie Soedewo soal upaya membuka tanda bintang pada anggaran drone. Arie mengakuinya.
"Ada upaya dari pihak bapak agar anggaran drone dibuka? Saksi sebelumnya (mengatakan) drone sudah dilelang dan ada pemenang, sedangkan anggaran malah diblokir, ada upaya membuka nggak?" tanya jaksa pada Arie dalam sidang lanjutan perkara suap proyek satellite monitoring Bakamla dengan terdakwa Nofel Hasan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (31/1).
"Saya pernah perintahkan saudara Nofel membuat surat upaya pembukaan, tapi dengan keraguan. Satu, waktunya kurang 1 bulan, kalau tidak beraksi, permintaan saya main-main atas dasar itu buat mudah-mudahan tidak diblokir," ucap Arie.
Surat tersebut menurut Arie ditujukan ke Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Biasanya, anggaran yang dibintangi dikarenakan adanya kondisi tertentu yang dianggap belum memenuhi syarat.
"Terkait bapak Nofel yang kirim surat, selain itu ada nggak pihak lain yang ditugaskan membantu terkait drone?" tanya jaksa.
"Tidak ada," jawab Arie.
Kemudian jaksa menanyakan tentang Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi yang disebut sebagai staf khusus bidang perencanaan dan anggaran Kabakamla. Menurut Arie, Ali bekerja dengan sistem honorarium.
"Narasumber, bagaimana Bakamla punya relasi banyak. Dia saya gunakan, baru dapat honor, kalau tidak, koordinasi sesuai pengalaman seperti saya sampaikan di sidang dahulu," ucap Arie.
Dalam surat dakwaan Nofel, jaksa KPK menyebut Nofel dan Ali mengusulkan anggaran pengadaan satellite monitoring dan drone yang disahkan APBN-P Tahun Anggaran 2016. Untuk pengadaan satellite monitoring sebesar Rp 402 miliar dan drone sebesar Rp 580 miliar.
Namun Kemenkeu disebut jaksa memotong anggaran proyek satellite monitoring dengan nilai Rp 222 miliar. Untuk pengadaan drone belum dapat ditandatangani kontraknya karena anggaran pengadaan drone masih dibintangi atau di-blocking.
Kemudian, jaksa menyebut Hardy Stefanus (mantan pegawai PT Melati Technofo Indonesia/MTI) ingin usulan pembukaan blocking anggaran tanpa perlu dilakukan review dari BPKP, tetapi langsung diajukan ke Ditjen Anggaran Kemenkeu.
Dalam perkara tersebut, Nofel didakwa menerima SGD 104.500. Uang itu diterima Nofel dari Fahmi Darmawansyah (mantan Direktur PT MTI) melalui 2 anak buahnya yaitu M Adami Okta dan Hardy Stefanus.
PT MTI merupakan pemenang tender pengadaan proyek satellite monitoring di Bakamla. Selain itu, uang suap itu dimaksudkan agar Nofel dapat mengupayakan tanda bintang pada anggaran pengadaan drone. (dtc)