Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ketua Komite Daerah (Komda) Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) di Sumatera Utara (Sumut) Profesor Delfitri Munir SpTHT-KL (K), menyampaikan, bahwa dari setiap 1.000 kelahiran di dunia, selalu terdapat satu orang yang mengidap tuli. Sementara di Indonesia, kata dia, setiap tahun setidaknya ada sebanyak 5.000 bayi yang lahir dalam keadaan tuli.
Sayangnya, Delfitri menyebutkan, jumlah penderita tuli dan bisu itu angkanya tidak pernah berkurang. Malah, akan cenderung untuk terus selalu bertambah, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
"Jadi di Indonesia, ada 5.000 orang tuli (bayi) setiap tahun lahir. Sebagiannya tentu ada di Medan dan sebagian di Sumut," ungkapnya kepada wartawan, Minggu (11/2/2018).
Hal ini jelas Delfitri, dikarenakan permasalahan bayi lahir tuli itu terutama disebabkan oleh faktor genetik (keturunan). Selain itu, juga bisa didapat dari ibunya yang ketika hamil menderita varisela dan campak, atau penyakit-penyakit lain yang dapat mempengaruhi janin.
"Jadi jumlahnya memang tidak pernah berkurang, akibat kedua faktor tersebut," jelasnya.
Karenanya, Delfitri mengaku, PGPKT sudah berkeliling kabupaten untuk memberikan masukan kepada dokter dan bidan supaya bisa mendeteksi secara dini bayi yang lahir dalam keadaan tuli. Sehingga pada hari ketiga atau keempat usai dilahirkan, si bayi bisa dites (screening) apakah mengalami tuli atau tidak.
"Sejauh ini kita sudah turun di 15 Kabupaten. Jadi bidan-bidan itu sudah kita training semua, walau kini masih ada sisa. Jadi pelan-pelan kita lengkapin, karena kita memang harus keluar kota, apalagi dengan dana sendiri," ujarnya.
Sedangkan di Medan, lanjut dia, saat ini sudah ada tiga Rumah Sakit (RS) yang telah melakukan screning tersebut. Yakni, RS Colombia, RS Adam Malik, serta RS Stella Maris.
"Karena jika secara dini bisa diketahui, pada bayi berumur 6 bulan bila ia bisu dapat dipakaikan alat bantu dengar untuk mengisi girus otaknya, supaya bisa merangsang otaknya. Sehingga nanti bila tidak terlalu berat, misalkan hanya 50% hilang pendengarannya, dengan alat bantu dengar itu maka bisa naik karena distimulasi," terangnya.
Namun, bila hilang pendengarnnya mencapai 90% atau lebih, tidak akan mungkin dapat mengunakan alat bantu dengar untuk terapinya. Sehingga imbuh Delfitri, harus ditanamkan koklea inplan.
"Tetapi kalau di otaknya tidak pernah ada di isi oleh memori dengar, upaya tersebut tidak akan berperan juga. Makanya anak-anak umur 6 bulan sudah mulai terapinya dengan alat bantu dengar. Sehingga seandainya dibawah 2 tahun di operasi, maka pendengarannya bisa akan normal seperti kita," urainya.
Untuk itu, Delfitri mengimbau, agar bagi ibu hamil, jangan terlalu banyak keluar rumah. Karena bila sampai terinfeksi, terutama oleh virus rubella campak, bukan hanya pendengaran bayinya saja yang dapat rusak, melainkan juga mata dan jantungnya.
Selain itu, sambung Delfitri, untuk koklea implan, harganya juga sangat mahal yakni mencapai Rp 250 juta. Sementara BPJS Kesehatan hanya dapat menanggungnya sebesar Rp 1 juta saja.
"Untuk ini saya memang sudah kirim surat ke BPJS pusat supaya mohon dibantu. Tapi sampai hari ini belum ada balasan," pungkasnya.