Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com – Sipoholon. Pembangunan bendungan senilai Rp 60 miliar, di Desa Simanungkalit Hasundutan, Kecamatan Sipoholon, Tapanuli Utara (Taput), yang dikerjakan hingga tahun 2016, masih meninggalkan masalah. Jaringan irigasi pada sisi kiri bendungan terkendala pengerjaannya. Pengerjaannya terbentur oleh pembebasan lahan.
Dalam perencanaannya, proyek bendungan dari Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air itu, diharapkan akan dapat mengairi seluas 1.650 hektare lahan persawahan masyarakat.
Salah seorang warga Kecamatan Sipoholon yang enggan disebutkan namanya mengatakan, tidak berlanjutnya proyek pembangunan jaringan irigasi pada sisi kiri bendungan, merupakan kegagalan pemerintah kabupaten (Pemkab) dalam pembebasan lahan masyarakat.
“Ini proyek raksasa yang merupakan anugerah bagi masyarakat petani. Proyek ini sudah bisa meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat petani, tentunya, dengan adanya irigasi persawahan. Masyarakat sudah bisa budidaya ikan tawar sehabis panen padi. Dan proyek ini sebenarnya sudah juga mendukung pemerintah kabupaten, dalam meningkatkan sarana dan prasarana pertanian dan perikanan,” ujarnya sembari meminta keseriusan Pemkab dalam pembebasan lahan untuk jaringan irigasi sisi kiri bendungan.
Camat Sipoholon David Nainggolan menerangkan, bendungan itu rampung tahun 2016 lalu. Namun, jaringan irigasi pada sisi kiri bendungan tidak lagi dilanjutkan oleh pelaksana proyek, sebab terkendala pembebasan lahan masyarakat.
“Hingga tahun 2016, hanya jaringan irigasi pada sisi kanan bendungan yang telah dikerjakan. Alhasil, sekitar 500-600 hektar lahan persawahan masyarakat telah dialiri irigasi bendungan. Lahan persawah itu mencakup 3 Desa, yakni, Desa Simanungkalit, Situmeang Hasundutan dan Hutauruk Hasundutan,”terang Camat Sipoholon ke medanbisnisdaily.com, Selasa (20/2/2018), di kantornya.
David Nainggolan menjelaskan, terhambatnya pengerjaan jaringan irigasi pada sisi kiri bendungan, karena masyarakat meminta ganti-rugi pembebasan lahan. Lalu, ada juga masyarakat yang menolak lahannya jadi lintasan jaringan irigasi.
“Pemkab Taput sudah pernah duduk bersama dengan masyarakat, agar pembebasan lahan yang diminta masyarakat ditampung di APBD. Namun, usaha Pemkab belum membuahkan hasil,” ungkap David Nainggolan.
Pembangunan jaringan irigasi pada sisi kiri bendungan, sebut David Nainggolan, sangat bermamfaat bagi lahan persawahan masyarakat Desa Hutauruk dan Kelurahan Situmeang Habinsaran atau dengan luas lahan persawahan sekitar 200-300 hektar.
Saat pengerjaan proyek itu tahun 2015, Daulat Butarbutar pelaksana PT Hariara sebagai pemenang kontrak pekerjaan mengungkapkan, pihaknya sedikit terkendala dengan pekerjaan itu, disebabkan tidak adanya anggaran dalam kontrak kerja yaitu, soal pembebasan lahan.
“Merunut hingga adanya pembangunan bendungan ini, jelas adanya permohonan dari masyarakat tiga Desa ditambah satu Kelurahan, lengkap dengan tanda-tangan para masyarakat yang membuat permohonan ke Kementerian Pekerjaan Umum, agar dibangun bendungan guna mengairi lahan persawahan mereka. Surat permohonan tersebut saat ini menjadi dokumennya Direktorat Jenderal Sumber Daya Air,”beber Daulat Butarbutar.
Ironisnya, tutur Daulat Butarbutar, setelah bendungan hampir rampung pengerjaannya dan berlanjut ke pekerjaan pembangunan jaringan irigasi, masyarakat jadi minta ganti-rugi pembebasan lahan dilokasi jaringan irigasi. Padahal dalam permohonan masyarakat tersebut, jelas-jelas direalisasikan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam Kementerian Pekerjaan Umum, karena mereka menandatangani permohonan tanpa ada cerita ganti-rugi lahan. Masyarakat dalam permohonan itu bersedia memberikan lahannya.
Butarbutar mengutarakan, demi kelancaran pekerjaan mereka dilapangan dan tidak ada ditampung anggaran pembebasan lahan, pihaknya PT Hariara telah membayarkan pembebasan lokasi jaringan irigasi sebelah kanan sebesar Rp 20 ribu per meter.
“Walau anggaran pembebasan lahan tidak ada dalam kontrak kerja, demi kelancaran pekerjaan, kami telah membayarkan pembebasan lahan pada jaringan irigasi sebelah kanan sebesar Rp 20 ribu per meter. Saya sudah dipanggil oleh pihak Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam ke Jakarta. Saya jelaskan permasalahan pembebasan lahan itu. Oleh pihak Direktorat Jenderal Sumber Daya Air mengancam tidak akan meneruskan pembangunan jaringan irigasi, bila masyarakatnya minta ganti-rugi,” terang Butarbutar.
Masyarakat Sipoholon, tutur Butarbutar, sangat rugi bila jaringan irigasi tidak dilanjutkan pembangunannya. Ancaman pihak Direktorat Jenderal Sumber Daya Air itu juga sangat beralasan. Soalnya masyarakat yang memiliki lahan pada jaringan irigasi sebelah kiri meminta ganti-rugi sebesar Rp 1 juta per meter. Menurutnya hal ini sangat tidak masuk akal, sebab mereka awalnya berjuang memohon pembangunan tetapi akhirnya meminta ganti-rugi.
“Untuk anggaran pekerjaan ini sudah disediakan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air sebesar Rp 60 miliar. Namun demikian, dalam kontrak kerjanya ke PT Hariara adalah kontrak Unit Price. Jadi, sangatlah rugi masyarakat di Sipoholon apabila pembangunan jaringan irigasi pada sebelah kiri tidak dilanjutkan pembangunannya.. Untuk jaringan sebelah kanan, Januari 2016, diharapkan sudah berfungsi untuk mengairi lahan persawahan masyarakat,” ucap Butarbutar.
Gompar Siregar dan Hamdani Lubis Pengawas Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Balai Wilayah II Sumut menyatakan, pihaknya telah menyampaikan surat tertulis kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara untuk mencari jalan keluar penyelesaian masalah pembebasan lahan pada jaringan irigasi sebelah kiri bendungan.