Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Bandung. Cicih (78) digugat empat orang anak kandungnya lantaran menjual 91 meter persegi lahan pemberian suaminya. Uang Rp 250 juta hasil penjualan tanah, digunakan untuk kepentingan anak-anaknya termasuk penggugat.
"Uangnya enggak saya makan sendiri," ujar Cicih saat ditemui di kediamannya, Jalan Embah Jaksa, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Rabu (21/2/2018).
Cicih mengatakan selama ini, sumber penghasilan satu-satunya dari pensiunan suaminya yang sebelumnya bekerja sebagai TNI. Selama satu bulan, Cicih mendapat Rp 1,2 juta.
Uang tersebut, kata Cicih, tidak mencukupi biaya sehari-hari. Apalagi dia harus menghidupi empat orang cucu yang tak lain adalah anak dari dua orang penggugat. Bahkan, sambung Cicih, salah satu anaknya yang menggugat, Dede Rohayati ikut tinggal bersama Cicih.
Oleh karenanya, ia terpaksa berhutang kepada tetangganya. Lantaran hutang terus menumpuk, ia terpaksa menjual sebagian tanah yang merupakan pemberian suaminya.
"Sebagian buat sehari-hari dan bayar hutang," kata Cicih.
Selain itu, kata Cicih, uang sebesar Rp 138 juta diberikan kepada cucunya yang juga anak salah satu penggugat. Uang itu diberikan untuk renovasi rumah menjadi kos-kosan.
"Memang dengan perjanjiannya pinjam dan dikembalikan dengan cara dicicil. Tapi sampai saat ini belum ada uang yang masuk," kata dia.
Cicih mengaku ikhlas atas hal tersebut. Sebab selama ini yang ia khawatirkan anak cucunya tak punya tempat tinggal kala ia meninggal dunia nanti.
"Saya khawatir, nanti kalau dijual semua mau pada tinggal di mana anak-anak," ungkap Cicih.
Sementara itu Alit Karmila (46), anak bungsu Cicih yang turut tergugat menceritakan pada tahun 2006 sebelum ayahnya meninggal dunia, Cicih dihibahkan tanah dan bangunan seluas 332 meter persegi yang sampai kini ditempatinya. Hibah itu pun sudah dituangkan dalam surat wasiat yang ditandatangani Udin di atas materai tertanggal 14 Januari 2006. Bahkan surat wasiat itu disaksikan langsung oleh ketua RW dan RT setempat kala itu.
"Nenek (Cicih) punya surat waris dari bapak. Surat waris dibuat karena khawatir ada penggugatan dari anak-anaknya. Disurat juga ditulis sama bapak kalau tidak boleh ada penggugatan," ujar Alit saat ditemui di kediamannya di Jalan Embah Jaksa, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Rabu (21/2/2018).
Permintaan tak boleh adanya penggugatan itu, kata Alit, lantaran Udin sudah membagikan warisan kepada keempat anaknya itu. Masing-masing mendapat bagian berupa tanah dan bangunan di dekat kediaman Cicih, lahan kebun di Cibiru dan sawah di Baleendah Kabupaten Bandung.
"Bapak sebelum meninggal memang sudah membagi-bagikan akta. Bapak membagikan supaya ketika meninggal tidak jadi rebutan," kata Alit.
Namun justru dalam perjalanan, kata Alit, warisan yang sudah dibagikan justru telah dijual oleh sebagian kakak-kakaknya. Malah untuk lahan kebun dan sawah oleh seluruh kakaknya dijual.
"Kalau tanah dua kakak saya belum dijual. Tapi kalau sawah sama kebun sudah dijual semuanya," kata dia.
Selama hidup, untuk biaya sehari-hari Cicih hanya mengandalkan uang pensiunan suaminya sebagai TNI. Namun uang pensiunan sebesar Rp 1,2 juta sebulan tak cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari ia, anaknya dan beberapa orang cucu yang juga anak dari penggugat.
Oleh karenanya, guna menambal kekurangan biaya sehari-hari, Cicih terpaksa meminjam uang ke tetangga. Lantaran pinjaman terus membengkak, Cicih yang merasa memiliki hak atas tanah pemberian suami, menjual ke orang lain.
"Sebelum menjual, nenek sudah bicara ke anak-anaknya. Malah nenek sampai datang ke rumah anaknya. Waktu itu sudah disetujui silakan saja," tuturnya.
Namun nyatanya, penjualan yang dilakukan Cicih berbuntut panjang. Hingga akhirnya tanpa ada kabar terlebih dahulu, Cicih mendapat panggilan dari PN Bandung untuk menghadiri sidang.
Anak-anak Cicih yaitu Ai Sukawati, Dede Rohayati, Ayi Rusbandi dan Ai Komariah menggugat atas dasar penjualan tanah seluas 91 meter persegi milik Cicih. Anak-anak menuding penjualan tersebut tanpa sepengetahuan anak-anak. (dtc)