Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Samosir Erkanus Simbolon mengatakan, gejolak harga gabah di tingkat petani hampir tidak pernah terjadi di Samosir
Hal itu disebabkan, rata-rata petani memiliki lumbung padi pribadi. "Petani tidak pernah menjual gabahnya sehabis panen. Tidak seperti kebanyakan petani padi lainnya di berbagai daerah di Sumut. Begitu panen langsung dijual. Hal itulah yang membuat harga gabah sering bergejolak. Harga turun saat panen tiba," kata Erkanus ketika dihubungi lewat seluler, Rabu (28/2/2018).
Di Samosir, kata dia, begitu panen tiba, petani akan menjemur padinya sampai kering giling untuk kemudian disimpan di lumbungnya sampai mendapatkan panen berikutnya.
Padi atau gabah yang dikeringkan itu kata Erkanus, akan dijual sesuai dengan kebutuhan petani. Misalnya, untuk membiayai anak sekolah barulah dijual. Itupun sesuai dengan yang diperlukan saja, tidak dijual semua. Begitu juga untuk keperluan lainnya seperti pesta atau adat.
Sedangkan untuk makan, Erkanus mengatakan, petani di Samosir banyak yang menerima beras rastra (raskin).
"Beras rastra itulah yang mereka makan. Jadi, rastra masuk bukan karena tidak ada beras tapi karena gabah hasil panen petani disimpan untuk kebutuhan mereka yang lainnya. Jadi, penerima rastra di Samosir ini cukup tinggi," kata dia.
Kondisi itulah kata Erkanus, yang membuat harga gabah di Samosir tetap tinggi seperti sekarang ini harganya berkisar Rp 5.000 per kg untuk gabah kering panen (GKP).
"Itupun tidak ada petani yang menjual gabahnya. Memang petani tidak mau menjual gabahnya kalau tidak penting sekali. Petani menyimpan gabahnya di lumbung padinya masing-masing. Dan, petani tidak peduli dengan harga gabah, mau turun atau tinggi, bukan persoalan bagi mereka. Budaya ini sudah berlangsung cukup lama, sudah tradisi turun temurun," kata Erkanus.