Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sanggar Kesenian Jawa di Sumut yang jumlahnya ratusan, dalam beberapa tahun terakhir kembali mulai bergeliat. Hal itu dapat dilihat dari aktivitas mereka yang tersebar di sejumlah daerah. Mereka manggung atas undangan kelompok masyarakat yang sedang menggelar hajatan. Biasanya dana saweran mereka kumpulkan secara swadaya.
Pegiat Kesenian Jawa Deli dari komunitas JeDe, Yono USU, mengatakan sejak reformasi kesenian "Jawa Gedongan" seperti wayang kulit, Karawitan Komplit (jangkep) untuk kalangan menengah ke atas mulai ditinggalkan. Mungkin tidak sepenting kalangan pinggiran menengah ke bawah untuk tetap sedaya upaya dan swadaya mempertahankan budaya sebagai simbol jati dirinya.
"Sanggar-sanggar yang manggung itu rata-rata diundang oleh masyarakat yang sedang menggelar hajatan. Mereka menghimpun dana untuk bisa menyawer sanggar kesenian itu," kata Yono kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (6/3/2018)
Seperti yang tercatat dalam dokumentasi komunitas Jawa Deli (JeDe) misalnya. Sejumlah sanggar kesenian Jawa Deli kembali menggeliat. Ia mencontohkan pada Selasa 6 Maret 2018, Jarkep Jede Wahyu Satrio Putro manggung di Langkat.
Pada Kamis 9-11 Maret 2018, kuda kepang Karya Muda manggung di dua lokasi di Kabupaten Asahan. Antara lain di Kecamatan Sei Dadap dan Simpang Empat. Pada 11 Maret 2018 ada pentas Jathilan oleh Paguyuban Setyo Budoyo di Marelan.
Sebelumnya pada 4 Maret juga berlangsung pentas Reog Ponorogo oleh sanggar Singo Ludoyo Hamparan Perak Deli Serdang. Kemudian Sanggar Angguk Tunas Melati Raya Jumat, 2 Maret 2018 di Tembung .Jathil Gedrug Moro Tresno hari Sabtu, 3 Maret 2018 di Deda Aek Loba, Asahan.
Reog Turonggo Siswo Budoyo, 3 Maret 2018 di lapangan Benteng Medan. Reog Singo Barong Sabtu, 3 Maret 2018 di Desa Kwala Begumit, Langkat dan sebagainya.
Yono USU menyebut, sebagai praktisi kesenian Jawa Deli, ia merasa perlu mengangkat sanggar-sanggar kesenian Jawa Deli yang ada di daerah ini. Tujuannya semata-mata untuk membantu sanggar-sanggar itu menemukan masyarakatnya. Salah satu caranya dengan mempromosikan kegiatan-kegiatan itu melalui media.
"Meski 30 tahun saya berinteraksi dengan sanggar-sanggar itu, tapi saya tidak mau mengintervensi mereka. Saya hanya berupaya membuka jaringan sesama sanggar. Kalau dibilang pembina, rasanya terlalu mewah. Upaya yang saya lakukan lebih kepada ketulusan untuk mengangkat kembali kesenian Jawa di daerah ini," katanya.
Jadi kalau ada yang menilai saya ikut panen, itu salah. Malah dalam beberapa gawean saya mengeluarkan uang pribadi saya. Misalnya pada gawean Ritual Suro yang digelar di beberapa titik di daerah ini, beberapa waktu lalu. Saya hanya dapat pengganti transport sebesar Rp 750.000 dari tiga event. Kalau mau profesional setidaknya saya bisa kantongi puluhan juta, jelas Yono.
"Saya melakukan ini semua murni karena saya ingin kesenian Jawa bangkit di daerah ini," katanya mengakhiri.