Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Rupiah terus mendapatkan tekanan dari penguatan dolar AS. Setelah pekan lalu nyaris menyetuh level 13.800/dolar AS, tekanan terhadap rupiah masih terus berlanjut hingga pekan ini.
Analis Lotus Andalan Sekuritas, Gunawan Benjamin, mengungkapkan, pekan ini tekanan terhadap rupiah memang belum mereda, walaupun bukan jaminan rupiah akan melemah lebih dalam lagi.
"Hal ini disebabkan reaksi pasar terlalu berlebihan terhadap rencana-rencana ekonomi di AS," katanya, di Medan, Rabu (7/8/2018).
Menurut dia, masalah pelemahan rupiah belakangan ini memang dipicu oleh sikap optimis Bank Sentral AS atau The Fed yang cenderung akan menaikkan suku bunga acuan.
"Letak masalah ini yang saya kira perlu kita pelajari lebih dalam lagi. Jika kita berbalik ke masa sebelumnya, dimana selalu ada rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed," ungkapnya.
Ekspektasi kenaikan suku bunga tersebut terasa seperti saat ini. Tetapi fakta kerap berbicara lain, meskipun sikap optimis ditambah dengan ekspektasi yang begitu kuat terhadap rencana kenaikan suku bunga The Fed. Namun, kenaikan suku bunga itu sendiri baru terjadi belakangan, bahkan jaraknya juga tidak berdekatan.
Sejak isu mencuat hingga realisasinya itu memakan waktu berbulan-bulan. Bahkan kenaikan suku bunga terjadi lebih dari 6 bulan setelah isu atau rencana kenaikan suku bunga itu mencuat. Sehingga apa yang dihadapi oleh rupiah saat ini adalah ekspektasi, bukan kenaikan suku bunga acuan itu sendiri. Walaupun pasar telah merespon jauh hari sebelum direalisasikan.
Ekspektasi ini memicu kenaikan Yield surat utang, yang memicu kekuatiran adanya pembalikan modal. Mengingat surat hutang yang diterbitkan oleh Indonesia sebagian dimiliki oleh asing. Artinya, memang asing ini bisa memindahkan dananya kapan saja sesuai kebutuhannya.
"Nah, di sinilah rupiah mengalami tekanan, padahal kenaikan suku bunganya belum terjadi sama sekali," jelasnya.
Untuk mengatasi masalah itu, solusi jangka pendek yang bisa dilakukan adalah menjaga volatilitas tingkat imbal hasil yang memicu pelemahan rupiah. Walaupun, disisi lain kita bisa saja meragukan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya dalam waktu dekat.
"Saya melihat isu atau rencana The Fed boleh-boleh saja, tetapi realisasinya nanti tidak terlepas dari data data perekonomian di AS," ungkapnya.
Kenaikan suku bunga di AS bisa disangkal secara cepat justru membuat mereka menjadi tidak kompetitif. Sehingga bisa disimpulkan memang bahwa pasar saat ini bereaksi terlalu berlebihan terhadap rencana tersebut. Walaupun demikian tetap perlu diwaspadai volatilitas rupiah akibat rencana kenaikan tersebut.
Dalam konteks seperti ini intervensi Rupiah memang dibutuhkan. Walaupun biayanya cukup mahal, karena mengurangi besaran cadangan devisa, dia menilai pemerintah perlu mensosialisasikan serangkaian kebijakan kerja sama pertukaran (swap) mata uang dengan negara lain. Sekali pun pada dasarnya kerja sama tersebut sudah disepakati.
"Sosialisasi ini perlu, karena pasar juga butuh untuk diyakinkan, bahwa kita masih mampu mengelola atau lebih tepatnya menjaga rupiah. Secara psikologis pasar butuh diyakinkan secara verbal seperti itu, jadi tidak melulu harus lewat intervensi saja," pungkasnya.