Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Samosir. Warga Desa Parbaba Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, mengatasnamakan himpunan Pissu Tali beranggotakan 81 orang, mengklaim kawasan register 579 sudah dirambah seluas 500 hektare di Pea-pea Lumban Buntu, tanah adat.
Pernyataan itu dibacakan oleh masyarakat tergabung dalam himpunan Pissu Tali, Rabu (7/3/2018) di hadapan tim terpadu, Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Yuliani Siregar, didampingi Kepala KPH XIII wilayah Dolok Sanggul Bernhard Purba, Kepala Unit XIX wilayah Samosir Anggiat, Kepala Seksi Perlindungan Hutan KPH XIII Dolok Sanggul Sahata Purba. Selain itu dihadiri pula Kasi Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara Albert Sibuea, Kapolsek Pangururan AKP Kondar Simanjutak, mewakili Koramil Pangururan M Malau, langsung turun ke kawasan dan meminta masyarakat perambah meninggalkan lokasi.
Di hadapan seluruh masyarakat anggota kelompok perambah, Yuliani Siregar dengan tegas menyampaikan, bahwa hutan yang sudah sempat dikelola masyarakat untuk penanaman kopi adalah kawasan register 579.
"Sejak register zaman Belanda, ini sudah masuk kawasan register, kawasan hutan lindung. Jadi kami mohon bapak ibu hargai tindakan persuasif yang kami lakukan. Kami juga pro rakyat. Kami tidak main lansung tangkap. Masyarakat boleh ikut menjaga hutan, dan memanfaatkan hasil hutan dengan penanaman pohon yang menghasilkan kayu dan buah. Itupun harus sesuai aturan. Jadi kami mohon dengan sangat, masyarakat tinggalkan lokasi ini dan jangan lagi aktivitas disini," tegas Yuliani Siregar.
Sambung Yuliani, Dinas Kehutanan melakukan larangan sesuai aturan. "Kami melarang masyarakat merambah hutan, itu untuk kepentingan rakyat juga. Demi anak cucu kita juga. Dan kami datang sesuai aturan peraturan yang berlaku. Kalau bapak ibu punya bukti, dasar hukum yang kuat untuk membuktikan ini kawasan ini tanah adat, silahkan bawa ke kami," tutur Yuliani Siregar.
Selain itu Kostan Sihaloho menambahkan, kawasan yang telah dikelola untuk perkebunan kopi itu masih tanah adat.
"Kami sangat menghargai kedatangan bapak ibu hari ini. Untuk diketahui, lokasi ini bernama Pea-pea adalah warisan dari nenek moyang kami. Kalau hutan lindung yang bapak ibu maksudkan, itu di sebelahnya," terang Kostan Sihaloho mewakili himpunan Pissu Tali.
Kata Kostan, mereka (warga Dusun III), siap menerima dengan baik, tapi jangan sampai diangkat bibit kopi mereka. Juga mengatakan, mereka siap dipenjara atas dasar warisan nenek moyang. Dan meminta arahan dan penjelasan terkait pidato Presiden RI Joko Widodo, mengenai hutan adat.
"Kami meminta arahan bapak ibu terkait pidato Bapak Presiden Joko Widodo, tertanggal 30 Desember 2016. Mengumumkan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang menyatakan, hutan adat telah diakui oleh negara dan dilindungi oleh undang undang. Dan hutan adat itu, diberikan kepada para tokoh adat setempat untuk dikelola dengan baik, dan tidak bisa diperjualbelikan," ucap Kostan Sihaloho, membacakan pidato yang dituliskan di secarik kertas.