Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sumut memproyeksikan, laju pergerakan harga di Sumut masih relatif rendah atau mengalami deflasi. Hal ini dikhawatirkan bakal menurunkan Nilai Tukar Petani (NTP) di daerah ini.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sumut, Arief Budi Santoso, mengungkapkan, pada Februari lalu, Sumut mengalami deflasi sebesar 0,89% (mtm) akibat penurunan harga sejumlah komoditas.
"Berdasarkan historisnya, pada bulan Maret dalam beberapa tahun terakhir, harga-harga relatif rendah. Dengan begitu, kami memperkirakan pada Maret 2018 inflasi Sumut masih tetap rendah," katanya di Medan, Kamis (8/3/2018).
Kondisi ini, menurut dia, cukup baik untuk menjaga inflasi tetap pada level sasaran. Namun, di sisi lain kondisi ini akan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar atau daya beli petani. Jangan sampai, akibat penurunan harga yang terjadi, petani menjadi kewalahan, terutama petani padi dan hortikultura.
Berdasakan catatan BPS, pada Februari lalu, NTP Sumut tercatat sebesar 97,89 atau turun 0,28% dibandingkan dengan NTP Januari 2018 sebesar 98,17. Penurunan NTP Februari 2018 disebabkan oleh turunnya NTP subsektor Tanaman Pangan sebesar 1,16%, NTP subsektor Hortikultura sebesar 1,01%, dan NTP Subsektor Peternakan sebesar 0,52%.
Menurut Arief, angka NTP kembali turun, apalagi mengingat berbagai harga hortikultura seperti cabai merah dan bawang merah juga turun. "Melihat kedua NTP tersebut berada di bawah angka 100, berarti secara keseluruhan kesejahteraan petani, atau dalam hal ini daya beli petani relatif turun," ungkapnya.
Sebagai gambaran angka NTP oleh BPS dibentuk dari 2 indikator. Pertama, adalah indeks harga yang diterima petani (IT), yaitu indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. Dari nilai IT, dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian.
Pada Februari 2018, IT Sumut mengalami penurunan sebesar 0,27% dibandingkan dengan ITJanuari 2018, yaitu dari 131,14 menjadi 130,79. Penurunan IT terjadi pada tiga subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan (padi & palawija) sebesar 1,15%, subsektor hortikultura sebesar 0,93%, dan subsektor Peternakan sebesar 0,49%.
Indikator kedua adalah indeks harga yang dibayar petani (IB), yaitu indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian. Dari IB, dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan, serta fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian. Perkembangan IB juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi di pedesaan.
Pada Februari 2018, IB Sumut mengalami kenaikan sebesar 0,02% jika dibandingkan dengan IB Januari 2018, yaitu dari 133,58 menjadi 133,60. Kenaikan IB terjadi pada empat subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan sebesar 0,01%, subsektor hortikultura sebesar 0,08%, subsektor peternakan sebesar 0,03%, dan subsektor perikanan sebesar 0,16.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ada penurunan pendapatan oleh petani akibat penurunan harga, sementara biaya yang dikeluarkan mereka semakin tinggi (IB). Kondisi ini tentu menjadi pertimbangan TPID agar pengendalian inflasi jangan sampai merugikan petani.
"Hal ini menjadi penting karena sebagai regulator, kita harus mampu mengidentifikasi penyebab turunnya kesejahteraan petani, barulah kita bisa mengambil kebijakan yang tepat sasaran untuk mendukung para petani," pungkasnya.