Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan.Sepuluh tahun terakhir, Erwin Landy mesti bolak-balik Medan-Samosir. Seminggu di Medan, tiga Minggu di Samosir, begitu istilah pembuat pupuk organik ini. Belakangan, pupuk organik hasil eksperimennya semakin diminati para petani yang ada di kawasan Danau Toba.
Selain hemat, bebas kimia, para petani juga bisa memproduksinya sendiri. Bahan utamanya adalah sampah organik yang banyak berserakan di pemukiman warga.
"Pokoknya sampah organik. Enceng gondok, kulit kopi, jerami, batang pisang, kulit durian dan sebagainya. Jadi selain dapat pupuk organik, lingkungan juga jadi bersih," kata Erwin pada medanbisnisdsily.com Selasa (20/3/2018).
Salah satu bahan dasar yang wajib disertakan dalam setiap pupuk organik buatannya adalah tanaman sipaet-paet yang banyak ditemukan di kawasan Danau Toba, terutama di Samosir.
Inspirasi menggunakan tanaman sipaet-paet berawal dari rasa penasarannya melihat kebiasaan petani di kawasan Danau Toba yang selalu menabur tanaman ini ke lahan yang akan ditanami. Pernah hal itu ia tanyakan kepada seorang petani, namun jawaban yang diterimanya belum cukup memuaskan, terutama dari sisi sains.
Menurut petani itu, disebut sipaet-paet karenanya rasa tanaman itu memang pahit. Bahkan binatang pun enggan memakan tanaman ini sehingga habitatnya tidak terkendali.
Erwin pun mulai bereksperimen. Ia memfermentasi tanaman ini. Tanaman itu dipotong-potong kemudian dilarutkan ke dalam air dan dibiarkan membusuk selama beberapa hari.
Air hasil fermentasi itu ia teliti di laboratorium. Hasilnya sangat mengejutkan. Dalam setetes cairan itu terdapat miliaran bakteri baik, yang salah satu fungsinya merangsang pertumbuhan tanaman.
Sejak itu Erwin terus melakukan eksperimen dan menemukan berbagai jenis pupuk organik dari bermacam tanaman yang difermentasikan. Pada akhirnya Erwin sampai pada kesimpulan bahwa setiap penyakit yang menyerang tanaman obatnya juga berasal dari tanaman. Semua itu permainan bakteri, istilah Erwin.
"Logikanya begini, di dunia ada bakteri jahat dan ada bakteri baik. Untuk melawan bakteri jahat kita bisa menggunakan bakteri baik. Jadi yang kulakukan adalah pengembangbiakan bakteri sesuai tujuannya, Karenanya, untuk mengatasi serangan hama tidak perlu dengan fungisida atau insektisida. Cukup kita semprotkan cairan yang mengandung bakteri yang merupakan predator hama itu," paparnya.
Hal itupun ia buktikan dengan membuat fungisida sekaligus bakterisida berbahan jelaga atau juga disebut rambang-rambang yang biasa bergelantungan di atas tungku perapian. Jelaga itu diproses sedemikian rupa sehingga menjadi berbentuk cairan.
Insipirasi itu ia peroleh dari logika bahwa kayu yang sering diasapi lebih kuat dan tidak gampang busuk. Berarti ada bakteri di jelaga itu yang membuat kayu tidak diserang jamur dan hama perusak kayu.
Hasil kerja keras Erwin telah membuahkan hasil. Semakin banyak petani menggunakan pupuk organik buatannya. Pada Minggu (18/3/2018) lalu ia bersama para petani dari kelompok masyarakat Parmalim di Tobasa memproduksi pupuk organik sebanyak 30 ton. Bahannya dari sampah organik yang dikumpulkan dari rumah masing-masing. Sampah organik itu diramu bersama tanaman sipaet-paet.