Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kamis kemarin, mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto menyebut 10 nama yang diduga menerima dana e-KTP. Empat di antaranya adalah politikus PDI Perjuangan yakni: Puan Maharani, Pramono Anung, Ganjar Pranowo dan Olly Dondokambey.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto langsung membantah tuduhan Setya Novanto tersebut. Menurut dia ketika proyek e-KTP dibahas di DPR, PDI Perjuangan dalam posisi sebagai oposisi terhadap pemerintah. Dengan posisi seperti itu tak terlalu kuat bagi PDI Perjuangan terkait kebijakan e-KTP.
"Kami bukan dalam posisi designer, kami bukan penguasa. Dengan demikian, atas apa yang disebutkan oleh Bapak Setya Novanto, kami pastikan tidak benar, dan kami siap diaudit terkait hal tersebut," kata Hasto kepada wartawan, Kamis (22/3/2018).
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center Zaenal A Budiyono mengatakan bahwa korupsi di Indonesia tak mengenal istilah oposisi atau bukan. Fraksi pendukung pemerintah mau pun oposisi sama-sama berpeluang terlibat korupsi.
Apalagi dalam sistem Indonesia tidak mengenal pemisahan secara tegas tentang partai pendukung pemerintah dan oposisi. Undang-undang Dasar 1945 tak mengenal adanya oposisi. "Yang ada sekarang adalah oposisi hanya sekadar label politik atau positioning yang diambil oleh parpol tertentu," kata Zaenal saat berbincang dengan detikcom, Jumat (23/3/2018).
Dia mencontohkan Gerindra dan PKS. Saat ini dua partai itu mengaku sebagai oposisi. Namun mereka bisa masuk menjadi pendukung pemerintah kapanpun. Begitu juga dengan PDIP, Golkar, NasDem, PPP, dan PKB mereka bisa keluar kapanpun dari partai pendukung pemerintah.
"Tidak logis juga membangun narasi bahwa oposisi tidak mungkin ikut-ikutan bancakan korupsi e-KTP," kata Zaenal yang juga pengajar di FISIP Universitas Al Azhar Indonesia itu.
Menurut dia, proses penyusunan undang-undang dan kebijakan apapun bukan hanya domain eksekutif. Legislatif juga memiliki peran kuat sebagaimana diktum trias politica. Bahkan bisa dikatakan tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa jalan tanpa persetujuan DPR.
Posisi kuat DPR ini lah yang di kemudian hari berujung pada abuse of power salah satunya dengan melakukan korupsi.
"Ini menunjukkan bahwa dalam pembahasan anggaran tidak ada lagi batas tegas antara fraksi pemerintah dan oposisi, semua memiliki kewenangan yang sama dan oleh karena itu berpotensi sama besar juga untuk terjadinya penyelewengan," papar Zaenal.
Mengutip data Transparansi Internasional Indonesia, Zaenal menyebut bahwa tersangka korupsi dari DPR tiap periode pemerintahan tersebar ke dua pihak, baik partai pendukung pemerintah maupun oposisi. Misalnya periode 2004-2014, ada 17 anggota dari PDIP yang berurusan dengan KPK.
Di periode yang sama Golkar ada 19 anggota, Partai Demokrat (4), PAN dan PPP masing-masing (3), serta PKB, PBR dan PKS masing-masing satu anggota menjadi tersangka korupsi.
PDI Perjuangan di periode 2004-2009 menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintah. "Kesimpulannya, potensi korupsi di DPR sama besar peluangnya dilakukan oleh partai pendukung pemerintah maupun oposisi. Hal ini kerena DPR memiliki hak budget," kata Zaenal. (dtc)