Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah membahas Peraturan KPU terkait pencalonan calon legislatif di Pemilu 2019. Nantinya KPU akan mengeluarkan aturan larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi atau koruptor maju menjadi caleg.
"Nanti akan kita masukkan juga aturan, yang sebenarnya di UU tidak ada, mantan narapidana kasus korupsi dilarang nyaleg, di PKPU pencalonan caleg mau kita masukkan," ujar Komisioner KPU Hasyim Asyari, di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Kamis (29/3).
Hasyim menyebut kasus korupsi merupakan hal yang melanggar sumpah jabatan dan menyalahgunakan wewenang yang dimiliki. Menurutnya, orang yang menyalahgunakan jabatan tidak layak kembali menduduki jabatan kenegaraan.
"Logikanya, menjadi pejabat itu diberi amanah, yang namanya korupsi, kalau kita lihat pasal tentang korupsi itu pasti ada unsur penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan wewenang itu ya berkhianat terhadap jabatannya, kepada negara, kepada sumpah jabatannya," kata Hasyim.
"Orang yang sudah berkhianat kepada jabatannya tidak layak menduduki jabatan publik lagi, tidak layak menduduki jabatan kenegaraan lagi, itu akan kita atur," sambungnya.
Hasyim mengatakan aturan ini akan dibuat untuk mendapatkan pemimpin yang bersih.
"Supaya dapat pemimpin dan wakil yang bersih, kalau ada penolakan ini berarti termasuk bagian yang tidak mau bersih," sebut Hasyim.
Hal lain yang akan diatur yakni caleg harus menyerahkan bukti sudah menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Serta menyerahkan surat bukti bebas narkoba.
"Salah satu syarat yang harus diajukan caleg adalah menyerahkan LHKPN, nanti mereka menyerahkan surat bahwa sudah menyerahkan LHKPN kepada KPK. Itu nanti jadi dokumen yang harus disertakan ketika pencalonan, termasuk caleg juga bebas narkoba," ungkap Hasyim.
Seperti diketahui, dalam UU Pemilu diatur mantan narapidana diperbolehkan nyaleg atau ikut pilkada asal mengumumkan ke publik. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya juga pernah memperkuat aturan tersebut. (dtc)