Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Kapur barus yang terkenal di dunia sejak abad ke 4 Masehi, saat ini terancam punah. Hal ini sejalan dengan semakin sulitnya dijumpai pohon kapur barus secara alami di daerah asalnya Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Penurunan produksi kapur barus sudah dirasakan sejak abad ke 16 - 17 Masehi, setelah masa jayanya sejak abad 4 hingga 7 Masehi.
"Kemasyuran kapur barus, terutama karena fungsinya sebagai bahan obat-obatan ini sekarang hanya tinggal nama karena pohonnya pun dijumpai dalam jumlah terbatas saat ini," kata Prof Abdul Rauf, pakar konservasi sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan daerah aliran sungai (DAS) USU, Selasa (17/4/2018), di Medan.
Saat ini kata Rauf, pihaknya sedang melakukan penelitian guna menginvestigasi dan menginventarisasi keberadaan pohon kapur barus di Desa Siordang Kecamatan Sirandorung yang merupakan wilayah kecamatan pemekaran dari Kecamatan Barus, Tapteng.
Menurut Rauf, keluarga Jalungun Silaban di Desa Siordang Kecamatan Sirandorung, secara sukarela masih melakukan pemeliharaan 40-an pohon kapur barus berdiameter antara 40-75 cm di ladang seluas 25 hektare dari 50 hektare lahan keluarga, yang merupakan warisan orangtuanya, almarhum Nawa Silaban.
"Kita sangat mengapresiasi keteguhan hati dan kegigihan keluarga pak Silaban ini yang sementara orang melakukan perambahan/penebangan pohon kapur barus secara ilegal. Hal itu karena kapur Barus tergolong kayu timber dengan kualitas nomor satu," jelas Rauf.
Ketika dimintai keterangan tentang pemeliharaan pohon kapur barus, Jalungun Silaban menjelaskan, apa yang dilakukannya ini hanya menjalankan amanah almarhum ayahnya.
"Ayah saya berpesan, demi kemaslahatan anak cucumu, terutama guna memperoleh bahan bangunan (kayu) untuk membangun rumah anak-anak mu maka tanam dan peliharalah pohon kapur ini di ladang kita," ujar Jalungun menceritakan amanah ayahnya.
Hingga saat ini, satu pohon kapur barus alami yang tumbuh di ladang mereka berdiameter sekitar 75 cm yang digunakan Jalungun sebagai pohon induk penghasil biji/benih untuk pembibitan pohon kapur barus.
Pohon kapur barus yang berbunga dan berbuah satu kali dalam setahun (biasanya di sekitar bulan April atau Desember) ini dijadikan sumber benih untuk pembibitan yang dilakukan di halaman belakang rumahnya.
"Bibit pohon kapur yang kami buat ini umumnya kami tanam sendiri meskipun ada juga warga maupun masyarakat dari luar wilayah Tapteng ini yang membelinya," ujarnya.
Bibit yang tingginya 40-50 cm menurut dia, dijual dengan harga Rp 50.000 per batang sementara yang tingginya 15 cm dijual dengan harga Rp 7.000 per batang. Tetapi ada juga orang yang membeli bijinya saja yang dijual seharga Rp 100.000 per kg.
Rauf menambahkan, penelitian yang dilakukannya bersama tim dari USU ini telah dilakukan tahap penelitian pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 12-13 April 2018.
Penelitian pertama berupa investigasi dan identifikasi lapangan di Desa Siordang. Penelitian direncanakan berlangsung secara terus menerus (multi years) yang dibiayai oleh hibah penelitian dasar perguruan tinggi dari Kemenristek Dikti.
"Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam pembudidayaan pohon kapur barus, menyangkut kesesuaian lahan, tanah dan agroklimatnya, serta mendapatkan sumber benih/bibit yang baik dengan jumlah yang banyak," kata Rauf.
Penelitian juga, kata dia, direncanakan hingga diperoleh cara atau sistem perbanyakan secara vegetatif termasuk cara perbanyakan menggunakan teknik kultur jaringan.
Selain itu, akan dikaji juga kemungkinan dilakukannya kembali produksi kapur barus yang berkualitas tinggi dan memiliki prospek pemasaran, baik di dalam maupun di luar negeri (ekspor).
Dengan begitu, pembudiayaan pohon kapur barus menurut Rauf, tidak semata-mata untuk memanen kayunya saja tetapi untuk memperoleh hasil hutan bukan kayu, berupa getah kapur barusnya, yang pada gilirannya mengamankan pohon kapur barus dari kepunahan.