Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejarah tentang Batak tak pernah habis untuk diteliti. Banyak peristiwa besar yang terjadi di Tanah Batak hingga kini masih menjadi pertanyaan. Di antaranya ada dua peristiwa yang paling menyita perhatian.
Pertama tentang peristiwa pembantaian orang Batak di Mandailing oleh kelompok Padri di abad ke-18. Meski peristiwa sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Batak, namun di kalangan sejarawan, hal itu masih dalam perdebatan.
Kisah itu pun ditulis dengan gamblang di buku Tuanku Rao karya Onggang Parlindungan yang pertama kali terbit 1964. Disebutkan dalam buku itu kelompok Padri melakukan "pembantaian" ke Tanah Batak bagian selatan dan menewaskan ribuan orang. Bahkan ekspansi itu juga meluluhlantakkan kerajaan Sisingamangaraja di Bakkara, Humbang Hasundutan.
Pendapat itu ditentang oleh sebagian sejarawan. Salah satunya dengan buku tandingan yang ditulis Buya Hamka, berjudul "Tuanku Rao Antara Fakta dan Khayal". Buya menganggap buku itu adalah sebuah karya fiksi.
Namun beberapa tahun lalu, peristiwa itu kembali dipublis di Harian Kompas, di halaman opininya. Seorang penulis menggugat kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Ia dituduh ikut bertanggung jawab dengan pembantaian itu. Tulisan itu pun menuai polemik.
Peristiwa kedua adalah tentang persekongkolan Nommensen dengan Kolonial Belanda. Pertama kali hal itu diungkap oleh Prof. Uli Kozok, seorang peneliti berkebangsaan Jerman. Dalam risetnya, ia menemukan sejumlah dokumen berupa surat balas berbalas antara Nommensen dengan Pemerintah Hindia Belanda. Disebutkan bahwa Nommensen mendapat bantuan dana dan dukungan dari Belanda.
Hasil penelitian itupun pernah diseminarkan di Universitas HKBP Nommensen, Medan beberapa tahun lalu. Penelitian itu langsung menuai pro dan kontra dan pembahasan tentangnya sampai saat ini tidak pernah terdengar lagi.
Direktur Institut Sumatera, Jhon F Siahaan, kepada medanbisnisdaily.com, Senin (23/4/2018) mengatakan, kedua peristiwa itu dianggap sebagai "kotak hitam" sejarah di Tanah Batak. Sampai saat ini masih menjadi kontoversi di kalangan sejarawan.
Alumni Pendidikan Sejarah Unimed ini mengaku, seminar-seminar tentangnya selalu berakhir tanpa kepastian. Menurut Jhon, selain referensi yang minim, juga terlalu banyak yang harus dijaga sejarawan.
"Kalau dari sisi akademis, seharusnya tidak perlu demikian. Sejarah harusnya diungkapkan, kalau tidak akan selalu menjadi pertanyaan yang meneror sampai ke generasi mendatang," kata Jhon.