Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Masalah pengadaan tanah masih menjadi masalah terbesar dalam percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Demikian disampaikan oleh Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo dalam kegiatan Sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
"Masalah tanah ini masih menjadi persoalan yang besar dan dapat menghambat pembangunan infrastruktur. Untuk itu perlu ada arahan dan kesepakatan agar para hakim baik pengadilan negeri maupun tinggi cukup confidence untuk menyelesaikan masalah konsinyasi sesuai dengan peraturan yang ada," ujar Wahyu dalam keterangan resminya, Selasa (24/4).
Padahal, kebijakan pemerintah dalam percepatan penyediaan infrastruktur adalah untuk kemajuan bangsa. Infrastruktur memiliki dampak positif terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat produktifitas dan daya saing bangsa.
Ketua Kamar Perdata MA Soltoni Mohdally mengatakan, umumnya permasalahan yang terjadi dalam pengadaan tanah adalah soal keberatan harga pemilik tanah atas hasil penilaian yang dilakukan oleh tim penilai/appraisal independen. Pemilik tanah yang tidak terima kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Menurut Soltoni beberapa kekeliruan yang kadang dilakukan oleh hakim adalah bertindak sebagai appraisal untuk mengubah harga yang ditentukan appraisal.
"Hakim itu bukan appraisal. Yang kita lakukan adalah menerima atau menolak gugatan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Soal harga serahkan pada tim appraisal independen", ujar Soltoni.
Sementara Direktur Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Arie Yuriwin mengatakan salah satu hal yang kurang dipahami dalam UU no.2/2012 adalah soal musyawarah bentuk ganti rugi. Hal yang dimusyawarahkan adalah bentuk ganti ruginya bukan harga yang sudah ditetapkan penilai.
"Apakah mau diganti dalam bentuk uang, relokasi atau yang lain," ujar Arie.
Untuk harga yang ditetapkan tim appraisal tidak dapat dinegosiasikan. Kalaupun warga masyarakat mengajukan gugatan yang menilai bahwa tim appraisal tidak profesional, maka hakim pengadilan dapat meminta penilaian pembanding dari tim appraisal independen lain yang sudah tersertifikasi negara.
Soltoni juga menegaskan bahwa jika putusan MA sudah muncul di website MA, hal itu sudah dapat dijadikan sebagai putusan resmi tanpa harus menunggu surat tertulis.
"Silakan buka website lalu print putusannya dan lanjutkan proses berikutnya. Perma 3/2016 sudah memuat hal itu secara detail. Baca juga lampirannya," ujarnya.
Soltoni yakin jika para hakim memiliki komitmen untuk mendukung percepatan infrastruktur dengan cara menjalankan Perma 3/2016 secara konsekuen, persoalan konsinyasi dalam pengadaan tanah dapat diselesaikan dengan lebih cepat.(dtf)