Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Nilai dolar Amerika Serikat (AS) terus mendekati angka Rp 14.000. Dari data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin, (24/4) nilai 1 dolar tercatat Rp 13.999.
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan (DPPK) BI Nanang Hendarsah mengungkapkan korporasi atau perusahaan besar termasuk badan usaha milik negara (BUMN) harus masuk ke skema hedging atau lindung nilai.
Hedging adalah salah satu cara untuk membatasi atau melindungi dana dari risiko nilai tukar yang terus bergerak ke arah yang kurang menguntungkan. Hedging ini memberikan pemilik dana untuk melindungi diri dari kemungkinan loss ketika ia melakukan transaksi.
Contohnya perusahaan A memiliki kewajiban pembayaran ke perusahaan B dalam bentuk dolar AS sebesar US$ 10 setiap bulan dalam waktu 12 bulan jika dikonversi ke rupiah maka pembayaran adalah Rp 139.000 (kurs Jisdor). Karena A khawatir nilai rupiah melemah maka ia melakukan hedging di angka Rp 13.950 per dolar AS. Nah beberapa bulan kemudian nilai tukar rupiah melemah hingga ke posisi Rp 14.500. Karena A sudah hedging maka kewajiban pembayarannya tetap di Rp 13.950 per dolar AS.
"Tapi sebagian besar baru sebatas memenuhi ketentuan kewajiban 25 persen dari net asset liablities valas," kata Nanang, Rabu (25/4).
Dia menjelaskan pengelolaan risiko pasar merupakan bagian yang penting dari pengelolaan risiko korporasi yang berkelanjutan sehingga dunia usaha tidak direpotkan dengan risiko fluktuasi yang akan menggerus arus pendapatan karena fluktuasi harga pasar (market risk), sehingga bisa fokus ke pengembangan usaha.
Dalam kondisi saat ini dan ke depan, sebaiknya semua pihak mengedepankan pengelolaan risiko agar tidak terpapar risiko pasar, terutama yang memiliki net liabilities dalam valuta asing.
"Perbankan di Indonesia khusunya yang besar sudah siap memfasilitasi trandaksi hedging bagi nasabahnya. Untuk transaksi lindung nilai dalam mengelola risiko kurs, sudah ada 9 bank besar yang menawarkan produk FX call spread option, dengan biaya yang sangat efisien," kata Nanang.
Dia menyebutkan pada 2016, BI sudah menerbitkan aturannya (terkait call spread) yang memperkenankan traksaksi produk call spread option. Kemudian OJK juga sudah menerbitkan POJK yang merevisi kewajiban memelihara agunan kas 10% dari national transaksi.
"Risiko pasar yang dimaksud juga termasuk risiko suku bunga karena AS tengah memasuki siklus suku bunga yang sedang naik. yang sudah tertransformasi ke kenaikan yield US Treasury note mendekati 3%," ujarnya.
Untuk memitigasi risiko suku bunga menurut Nanang sudah tersedia produk Interest Rate Swap (CCS) dan Cross Currency Swap (CCS) disediakan oleh perbankan di domestik. CCS ini produk hedging yang memitigasi risiko kurs dan suku bunga.
Terlebih kepada dunia usaha yang terpapar terhadap kewajiban valas dan importir sebaiknya melakukan lindung nilai.
"Meski BI akan tetap menjaga stabilitas nilai tukar, tapi untuk menjaga kestabilannya juga perlu didukung oleh berbagai pihak untuk masuk ke skema hedging, seperti produk plain vanila fx forward, fx swap, fx option, IRS, CCS, atau call spread option yang lebih efisien," imbuh dia.
Menurut Nanang ini dilakukan agar tidak seluruh kebutuhan valas membebani transaksi spot, yang secara langsung mempengaruhi kurs. Dengan nasbah bank masuk ke transaksi lindung nilai, bank bisa lebih memiliki ruang untuk mengelola dan mempersiapkan ketersediaan likuiditas valas ke depan.
"Dengan demikian aktifnya lindung nilai oleh dunia usaha yg terpapar terhadap kewajiban valas juga membantu negara dalam menjaga stabilitas kurs," ujarnya.(dtc)