Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat tetap tenang menyikapi nilai dolar Amerika Serikat (AS) yang nyaris tembus Rp 14.000. Sri Mulyani mengatakan, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah, bahkan bukan juga yang terdalam pelemahannya.
"Kita memperhatikan berdasarkan pergerakan mata uang yang lain dan juga terhadap dolar itu sendiri, dolar menguat berasal dari policy pemerintah Amerika tentu ini mengarah pada mata uang yang lain," kata Sri Mulyani di gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/4).
Dia menyebut pelemahan nilai tukar juga terjadi pada beberapa mata uang regional seperti India dan pelemahannya lebih dalam dari rupiah.
"Kalau kita lihat pergerakan dalam dua hari terakhir, baik mata uang yang berasal dari negara maju maupun emerging. Kita masih pada kisaran hampir sama atau lebih baik sedikit," tambahnya.
Secara tahun kalender (YTD) data per 20 April 2018 rupiah bukan menjadi mata uang yang melemah paling dalam, melainkan lira Turki dengan depresiasi sebesar 6,54%.
Selanjutnya diikuti oleh peso Filipina dengan depresiasi 4,15%, rupee India depresiasi -3,38%, real Brasil depresiasi -2,81%, dan Indonesia depresiasi -2,23%. Sedangkan yang apresiasi adalah Tailand Baht sebesar 4,01%, dan Malaysia Ringgit sebesar 3,82%.
"Tentu kita harus melihat ke depan, masyarakat pasti dalam hal ini perlu untuk terus diberikan informasi sehingga mereka menjadi lebih tenang bahwa pergerakan ini adalah pergerakan yg berasal dari Amerika dan oleh karena itu pengaruhnya pada seluruh mata uang di dunia," tegas dia.
Genjot Ekspor
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebutkan ada momentum yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah di saat nilai tukar rupiah melemah, yaitu meningkatkan ekspor.
"Ekspor kita harus bisa dipacu lebih bagus. Karena memang kesempatannya adalah hari ini, mumpung global growth masih positif," kata Sri Mulyani.
Produk ekspor yang bisa digenjot saat ini adalah sektor manufaktur. Sebab, produk tersebut memiliki daya saing dibandingkan dengan komoditas mentah yang harganya masih fluktuatif.
Menurut dia, momentum meningkat ekspor juga bisa menambah penerimaan negara. Apalagi permintaan dari negara-negara tujuan ekspor masih terbuka lebar.
"Artinya, saya akan mengatakan bawah perubahan lingkungan global dan regional harus bisa dimanfaatkan oleh ekonomi Indonesia," tutup dia. (dtf)