Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Masyarakat Sumatera Utara mungkin jarang mendengar nama Sati Nasution. Dialah tokoh pendidikan modern pertama di Indonesia, asal Mandailing, Sumatera Utara. Pada tahun 1862, Sati sudah mendirikan sekolah berbasis pendidikan modern di Mandailing. Sekolah itu bernama Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijs Tano Bato. Sejak usia 15 tahun ia sudah mengajar secara informal.
Di usia 17 tahun, Sati berangkat ke Belanda untuk menimba ilmu. Sepulang dari Belanda itulah ia mendirikan sekolah itu. Ia menjadi tenaga pengajar di sekolah itu sejak 1862-1874. Siswa-siswa Sati itu kemudian menjadi guru dan meneruskan mengajar di sekolah itu. Sati sendiri kembali berangkat ke Belanda untuk meraih predikat Kepala Sekolah.
Kiprah Sati Nasution dalam dunia pendidikan tanah air, jauh lebih dulu dibanding Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa. Taman Siswa sendiri baru berdiri pada 1922. Faktanya ketokohan Sati Nasution yang kemudian lebih dikenal dengan nama Williem Iskandar kalah populer dibandingkan Ki Hadjar Dewantara yang dijuluki Bapak Pendidikan Indonesia itu.
Direktur Literasi Sumatera, Jhon Siahaan, kepada medanbisnisdaily.com, Rabu (2/5/2018) mengatakan, nilai-nilai pendidikan modern yang diajarkan Williem Iskandar itu terinspirasi dari gerakan pencerahan (Aufklarung) yang berkembang di Eropa. Gerakan itu berbasis penalaran, idealisme dan semangat pembaruan.
"Williem adalah pelopor pendidikan modern. Kiprahnya terhadap proses pembentukan Indonesia sangat besar. Williem Iskandar juga sosok pemikir yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Ia menimba pendidikan di Belanda dan kemudian menerapkannya di Mandailing kampung halamannya. Itu salah satu bukti bahwa ia punya nasionalisme yang tinggi," ujar Jhon.
Williem Iskandar bukan hanya mengajar, ia juga mengarang dan banyak menerjemahkan buku terbitan Belanda. Hal itu pun ia ajarkan kepada murid-muridnya.
Ia menyadari untuk menguasai pendidikan seseorang harus fasih dengan bahasa Melayu dan Belanda. Salah satu karya terjemahannya adalah Si Hendrik Na Denggan Roa yang diterjemahkan dari De Brave Hendrik (buku anak-anak paling populer di masa itu).
"Williem juga menerjemahkan Barita Na Marragam dan Basaon. Kepiawaian menerjemahkan bacaan itu juga diajarkan kepada para muridnya yang kemudian juga menjadi penterjemah. Antara lain Ja Lembang Gunung Doli (Soerat Parsipodaan, Batavia 1889) Ja Manambin (Si Djahidin, Batavia 1883) JA Parlindungan (Kitab Pengadjaran, Batavia, 1883) di Mangaraja Gunung Pandapotan (Parsipodaan Taringot to Parbinotoan Tano on, Batavia 1884) dan sebagainya.
Selain itu, Williem juga merekomendasikan agar guru-guru muda itu diberikan beasiswa untuk belajar ke Belanda. Hal itu pun disetujui oleh Inspektur Pendidikan Boemiputra Mr JA Van der Chijs.
Kepeloporan dalam dunia pendidikan Williem Iskandar itu juga diakui sejarawan Ichwan Azhari. Dalam sebuah seminar pendidikan di Unimed belum lama ini, Ichwan menegaskan jauh sebelum Ki Hadjar Dewantara, Williem Iskandar sudah berbuat.
Ichwan sepakat dengan Pramoedia Ananta Toer yang mensejajarkan Wiliem Iskandar dengan Raden Saleh, tokoh pendidikan paling hebat di akhir abad ke-19.
Williem Iskandar lahir Maret 1840 di Pidoli Lombang, Tapanuli Selatan dan meninggal di Amsterdam pada 1876. Ia anak bungsu Raja Tinating, Tapanuli Selatan. Gelar yang disandangnya adalah Sutan Iskandar. Nama itu kemudian berganti menjadi Williem Iskandar setelah ia dibaptis menjadi Kristen di Arnhem, Belanda 1858.
Untuk menghargai jasa-jasanya, pada 1978 ia pun mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef. Namanya juga dijadikan nama jalan.