Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Soal nilai-nilai kejujuran pada dirinya, calon Wakil Gubernur Sumatera Utara Djarot Saiful Hidayat (62) sudah sedari muda menjaganya. Tidak tergiur pada pemberian berbentuk apapun yang bisa membuat dia kehilangan independensi atau rasionalitas.
Mengawali karir sebagai pengajar, Djarot menceritakan di awal usia 20-an dia sudah menjadi dosen di Universitas 17 Agustus 1945 di Surabaya. Tak lama kemudian di usia 27, ayah tiga orang putri ini diberi kepercayaan menjabat sebagai wakil dekan I. Dua tahun setelah itu, pada saat usia 29 karirnya melesat. Ditetapkan menjadi wakil rektor I. Selama enam tahun jabatan tersebut diembannya.
Menduduki jabatan sementereng itu di usianya yang masih relatif muda, Djarot menyadari betul godaan yang ada di sekelilingnya. Terutama yang berkaitan dengan uang dan perempuan.
"Coba bayangkan waktu itu saya punya uang banyak, jabatan tinggi, masih bujangan dan wajah lumayan. Dengan mudah saya bisa mendapatkan kemewahan jika tidak menahan diri," katanya saat berbicara pada acara deklarasi dukungan Komunitas Alumni SMAN 1 Medan (SMANSA) kepada pasangan calon Gubsu Djarot - Sihar (DJOSS), di Medan, Kamis malam (3/5/2018).
Bagi mantan Walikota Blitar dua periode tersebut adalah sangat penting baginya sebagai dosen menjaga kepercayaan mahasiswa serta para koleganya. Oleh sebab itu, dia berusaha mempertahankan kejujurannya.
Sebagai dosen yang masih berstatus lajang atau single, dia memilih sikap untuk tidak sekalipun berpacaran dengan mahasiswanya. Padahal menurutnya waktu itu tak sedikit anak didiknya yang "menawarkan diri" agar dijadikan pacar.
Satu ketika, ujar Djarot, seusai mengajar di kampus pada malam hari, seorang mahasiswi menawarkan untuk pulang bersamanya dengan mobil miliknya. Tapi dia menolak dengan alasan memiliki sepeda motor.
"Karena dia ngotot, kami akhirnya pulang sama-sama. Dia dengan mengendarai mobilnya, saya mengiringi dari belakang naik sepeda motor. Cantik dan anak orang kaya, tapi bagi saya tidak bisa," paparnya.
Karena kedua orangtuanya sudah meninggal dunia, ketika itu Djarot hidup bersama neneknya. Kepada neneknya dia berpesan, siapa saja yang datang ke rumah membawa bingkisan dalam bentuk apapun agar tidak diterima. Siapapun orangnya.
Itu sebabnya setiap kali ada mahasiswanya yang datang dengan membawa bingkisan berisi apa saja, seperti buah dan kue, neneknya pasti membuangnya. Hal itu dilakukan di depan si pemberi.
"Nenek saya pernah cerita. Satu kali ada mahasiswa yang datang membawa bungkusan makanan. Seketika diterimanya bungkusan itu langsung dibuang. Kemudia diambil lagi oleh si pemberi. Saya tertawa-tawa mendengarnya," kisah Djarot dihadapan seratusan alumni SMANSA didampingi Ketua Komunitas Alumni, Akhmad Utoyo.
Djarot berusaha mempertahankan kejujurannya dengan menghindari diri dari conflict of interest saat menjalankan profesinya sebagai dosen. Prinsip itu yang terus dipertahankannya dalam menjalankan berbagai jabatan politik. Di antaranya dua periode menjadi Walikota Blitar, Wakil Gubernur dan Gubernur DKI Jakarta.