Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah terus menguat beberapa pekan, hingga sempat tembus Rp 14.000. Pada penutupan kemarin, Jumat (11/5) dolar AS mulai lengser ke posisi Rp 13.950.
Dalam acara talk show interaktif bertajuk Youth X Public Figure di Epicentrum, Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ditanya peserta soal penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Menanggapi hal tersebut, Sri Mulyani menjelaskan terkait nilai tukar, siapapun Presiden dan Menteri Keuangannya selama tingkat inflasi masih lebih tinggi dari angka inflasi dunia, maka nilai rupiah masih akan turun.
"Selama inflasi kita (Indonesia) di atas inflasi dunia pasti kita akan turun nilai rupiahnya," kata Sri Mulyani dalam acara talkshow di kawasan Epicentrum, Jakarta, Sabtu (12/5).
Dia menjelaskan, saat ini inflasi negara tetangga di kawasan ASEAN, seperti Thailand berada di kisaran 1-1,5% sedangkan Indonesia berada di kisaran 3,5%.
"Angka inflasi kita sebenarnya sudah suatu prestasi, kita pernah inflasi di atas 5%, sekarang 3,5% sudah terendah sepanjang sejarah," imbuh dia.
Sri Mulyani menceritakan, penyebab terjadinya inflasi di suatu negara bermacam-macam, bisa akibat distribusi barang yang lambat. Dia mencontohkan harga cabai di kebun murah kemudian pas sampai ke Jakarta harganya bisa dua tau tiga kali lipat karena transportasi dan pengiriman.
Namun hal-hal terkait pelemahan rupiah terhadap dolar AS memang bukan hal yang simpel dan mudah untuk dijelaskan. Menurut dia, saat ini penguatan dolar AS tak hanya terhadap rupiah.
Penguatan juga terjadi pada mata uang sejumlah negara dan bahkan lebih parah dari rupiah.
"Kalau dibandingkan dengan Turki mereka turunnya sudah 10%, Indonesia hanya 3%. Tapi karena Indonesia nol nya banyak jadi sepertinya banyak dan sudah paling dalam dan psikologisnya goyang semua. Padahal tidak seperti itu," ujarnya.
Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus koordinasi untuk menjaga stabilitas nilai tukar, namun memang ada hal-hal yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah dan BI.
Misalnya konflik perang dagang antara AS dan China.
"Ada yang tidak bisa kita kontrol, seperti tiba-tiba Donald Trump berantem sama China, kemudian Bank sentral AS naikin suku bunga dari 1% jadi 2%, itu nggak bisa dikontrol tapi pengaruhnya ke seluruh dunia," kata Sri Mulyani.
Ia menambahkan meskipun hal tersebut di luar jangkauan pemerintah dan BI, namun masih bisa mengontrol dampak yang terjadi setelah kebijakan-kebijakan tersebut dijalankan.
"Kami berupaya untuk menjaga ekonomi Indonesia, meskipun saat ini ada goncangan," tutur Sri Mulyani. (dtf)