Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemerintah menegaskan tidak ada upaya pelemahan kewenangan KPK dalam penyusunan RUU KUHP dengan DPR. Kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan masih ada.
"Kami tahu kalau KPK sedang gencar menggalang opini publik untuk mengatakan RUU KUHP mengambil kewenangan KPK. Sekali lagi itu tidak benar. KPK adalah anggota tetap RUU KUHP yang berhak menyampaikan pendapat dalam rapat-rapat jika mereka rajin datang dan menyimak seluruh rumusan pasal-pasal (serta ngerti secara komprehensif)," ujar Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkum HAM Prof Enny Nurbaningsih saat dimintai konfirmasi, Senin (4/6) malam.
Enny menjelaskan, ketentuan mengenai tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP masuk ke dalam tindak pidana khusus bersamaan dengan pasal pelanggaran HAM berat, terorisme, narkotika. Ketentuan mengenai tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP tetap dilaksanakan berdasarkan UU KPK.
"Bahkan RKUHP menegaskan dalam pasal 729 bahwa pada saat UU ini mulai berlaku, ketentuan bab tindak pidana khusus dalam UU ini tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam UU masing-masing. Artinya semua UU tindak pidana khusus masih berlaku termasuk kewenangan lembaganya," tutur Enny yang juga tim penyusun RUU KUHP dari pihak pemerintah.
Sebelumnya, ICW membikin petisi di laman change.org dalam rangka mendukung agar pasal-pasal mengenai tindak pidana korupsi atau tipikor dicabut dari RKUHP. Pasalnya, mereka menilai pasal-pasal tipikor itu bisa mengancam eksistensi KPK.
Dilihat pada Senin (4/6), ICW menyebut setidaknya 2 alasan RKUHP tersebut membahayakan KPK, apa saja?
1. KPK Tak Lagi Bisa Usut Kasus Korupsi
KPK terancam tidak bisa lagi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkait kasus tipikor apabila RKUHP disahkan. Dalam petisi itu disebutkan, kewenangan KPK tercantum dalam UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor (dan bukan dalam KUHP). Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya kejaksaan dan kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.
Tidak hanya KPK, akan tetapi Pengadilan Tipikor pun terancam keberadaannya. Selama ini Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili kejahatan yang diatur dalam UU Tipikor. Maka jika R-KUHP ini disahkan kejahatan korupsi akan kembali diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa lalu Pengadilan Negeri kerap memberikan vonis ringan bahkan tidak jarang membebaskan pelaku korupsi.
2. RKUHP Untungkan Koruptor
Dalam petisi itu disebutkan, ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RKUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor. Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena RKUHP tidak mengatur hal ini. Selain itu pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum. (dtc)