Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta - Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memberi catatan buat Menteri Kelautan dan Perikanan karena kementeriannya memperoleh opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Luhut ingin laporan keuangan KKP bisa diperbaiki agar tak lagi mendapatkan opini disclaimer.
"Tadi di KKP saya minta tolong sama Pak Irjen sampaikan sama Bu Menteri, kita dengerin mereka (BPK). Kita harus belajar mendengar, mau mendengar," kata Luhut di Kantor BPPT II, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Opini disclaimer disematkan untuk hasil audit Laporan Keuangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tahun 2017.
Dikutip dari keterangan resmi BPK, Rabu (6/6), ditulis secara jelas temuan-temuan BPK yang menyebabkan KKP menerima opini disclaimer.
Temuan-temuan signifikan pada pemeriksaan LK KKP tahun 2017 yang berdampak terhadap opini antara lain:
A. Persediaan minimal sebesar Rp 38,28 milliar tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
1. Persediaan yang tidak didukung dengan penatausahaan yang memadai dan tidak dilakukan inventarisasi fisik sebesar Rp 33,92 miliar.
2. Persediaan kapal yang diakui telah selesai 100% namun secara fisik belum selesai dan tidak tersedia data rincian harga satuan untuk setiap komponen dalam kontrak sebesar Rp 4,36 miliar.
B. Nilai buku aset tetap diragukan sebesar Rp 556,99 miliar yang terdiri:
1. Aset tetap yang keberadaannya tidak dapat dijelaskan sebesar Rp 684,36 juta.
2. Saldo tidak wajar yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya sebesar Rp 226,60 miliar diantaranya bersaldo minus, penyusutan melampaui harga perolehan, dan belum teridentifikasi penyusutannya.
3. Aset tetap tanah pulau Nipa yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga sebesar Rp 129,83 miliar yang luasan dan nilai perolehannya berbeda antara data menurut SIMAK BMN, perjanjian kerjasama pemanfaatan, dan persetujuan Kementerian Keuangan.
4. Konstruksi dalam pengerjaan (KDP) sebesar Rp 199,88 miliar diantaranya bersaldo minus sebesar Rp 78,87 miliar, transaksi tidak wajar sebesar Rp 4,25 miliar dan mutasi keluar yang tidak dapat ditelusuri menjadi aset definitif sebesar Rp 56,02 miliar serta KDP hasil Pengadaan Barang Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung /KJA Offshore) sebesar Rp 60,74 miliar yang tidak didukung dengan dokumen progress fisik yang memadai dan dokumen Rencana Anggaran Biaya yang terinci untuk setiap komponen dalam kontrak.
BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai tersebut di atas posisi per 31 Desember 2017, karena tidak tersedia data dan informasi pada satuan kerja terkait. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut di atas.
C. Aset lainnya sebesar Rp 37,26 milliar tidak diyakini kewajarannya meliputi:
1. Aset tak berwujud berupa paten dan hasil kajian yang tidak didukung dokumen perolehan yang lengkap dan valid sebesar Rp 24,57 miliar.
2. Nilai amortisasi yang melampaui nilai perolehan namun tidak dapat dijelaskan sebesar Rp 10,54 miliar.
3. Saldo yang tidak wajar antara lain saldo minus, dan perbedaan antara nilai pada Neraca dengan SIMAK yang tidak dapat dijelaskan sebesar Rp 2,15 miliar.
D. Utang kepada pihak ketiga atas pengadaan kapal sebesar Rp 4,06 miliar tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
1. Saldo tersebut merupakan utang pengadaan kapal penangkap ikan yang diakui berdasarkan jumlah unit kapal yang telah selesai dan diterima dengan harga per unit sesuai kontrak.
2. Hasil pemeriksaan BPK atas kondisi kapal dan dokumentasi Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, kapal tersebut tidak sesuai spesifikasi teknis dan tidak tersedia data rincian harga satuan untuk setiap komponen dalam kontrak.
BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai tersebut. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan penyesuaian yang diperlukan terhadap angka tersebut .
E. Realisasi belanja barang sebesar Rp 164,42 miliar tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
1. Kelemahan pengendalian dalam perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja pengadaan kapal.
- Ketidaksesuaian jumlah unit kapal antara KAK, SK Penetapan Penerima Bantuan dan Juknis Sarana Bantuan Penangkapan Ikan.
- Pengadaan kapal tidak sesuai KAK dimana menurut KAK sebanyak 755 unit namun terkontrak 785 unit.
- 12 unit kapal tidak mendapat kuota mesin (Pengadaan kapal sejumlah 755 unit sedangkan mesin sebanyak 743 unit).
- Realisasi belanja pengadaan kapal sebesar Rp 25,00 milliar yang pembayarannya berdasarkan jumlah unit kapal yang telah selesai dan diterima dengan harga per unit sesuai kontrak. Hasil pemeriksaan BPK atas kondisi kapal, dokumentasi Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Biro Klasifikasi Indonesia, kapal tersebut tidak sesuai spesifikasi teknis dan tidak tersedia data rincian harga satuan untuk setiap komponen dalam kontrak.
- Pelaksanaan pekerjaan tidak didukung dengan konsultan pengawas.
- Keterlambatan penyelesaian pekerjaan atas unit kapal yang melebihi batas kontrak s.d 31 Maret 2018 (batas 90 hari PMK 243) belum dikenakan denda minimal Rp 5,4 miliar.
- Kontrak yang penyelesaian pekerjaannya melebihi batas waktu sesuai PMK 243 (90 hari tambahan carry over 2018) tidak dilakukan pemutusan kontrak atas 10 kontrak atau sebanyak 76 unit kapal senilai Rp 21 miliar.
2. Selain itu, terdapat belanja antara lain berupa honorarium dan sewa sebesar Rp139,41 miliar tidak didukung bukti yang lengkap dan diragukan validitasnya sebagai pertanggungjawaban atas realisasi kegiatan.
BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai tersebut. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan penyesuaian yang diperlukan terhadap piutang dan pendapatan terkait pengembalian belanja serta persediaan dan beban Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait angka tersebut.
F. Realisasi belanja modal pengadaan barang Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung Lepas Pantai/KJA Offshore) sebesar Rp 60,74 miliar tidak diyakini kewajarannya:
1. Pembayarannya menggunakan progres fisik berdasarkan estimasi tanpa memperhatikan komponen-komponen yang belum terpasang.
2. Tidak tersedia data rincian harga satuan komponen-komponen tersebut dalam kontrak serta atribusi biaya perakitannya per item pekerjaan.
3. Pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak didukung dengan konsultan pengawas.
BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai tersebut. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan penyesuaian yang diperlukan terhadap piutang dan pendapatan pengembalian belanja serta konstruksi dalam pengerjaan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait angka tersebut.
Permasalahan Lain
Selain itu, atas pengadaan tersebut terdapat permasalahan lainnya yang ditemukan meliputi:
1. Pembangunan dua unit work boat senilai Rp 25,4 miliar (sebelum PPn) yang seharusnya berasal dari Norwegia di subkontrakkan kepada pihak ketiga di Batam.
2. Kelebihan pembayaran atas pengadaan item-item pekerjaan yang belum datang dan atau lengkap per 31 Desember 2017 sebesar Rp 39,64 miliar.
3. Denda keterlambatan yang belum dipungut minimal sebesar Rp 8,82 miliar.
4. Sampai dengan tanggal 5 April 2018 pekerjaan tersebut belum selesai, padahal sesuai dengan PMK 243 tahun 2015 pekerjaan tersebut harus selesai tanggal 31 Maret 2018.
Selain temuan-temuan tersebut terdapat permasalahan signifikan lainnya berupa:
1. Pencatatan Kas dan Setara Kas pada Pusat Riset Kelautan sebesar Rp 1,49 milyar tidak menunjukkan kondisi yang sebenarnya dimana saldo tersebut merupakan realisasi belanja TA 2015 yang yang berasal dari hibah langsung luar negeri belum mendapatkan pengesahan belanja karena belum masuk DIPA TA 2015.
2. Penatausahaan PNBP tidak memadai antara lain:
- PNBP berasal dari PHP (Pungutan Hasil Perikanan) dan PPP (Pungutan Pengusahaan Perikanan) pada Ditjen Perikanan Tangkap. Setelah diverifikasi, dari 7.400 kapal terdapat 28 kapal yang under stated/ down size sehingga terdapat kekurangan pembayaran sebesar Rp 1 miliar.
- Selain itu terdapat 786 kapal (ukuran >30GT) yang sudah diukur ulang oleh Ditjen Hubla belum masuk dalam database Kementerian Kelautan dan Perikanan sehingga terdapat potensi PNBP yang dipungut minimal sebesar Rp 49,79 miliar.
- Tagihan PNBP kepada PT HOI atas jasa tambat, labuh, dan kebersihan kolam selama Tahun 2016 s.d. 18 Februari 2018 belum dikenakan sebesar Rp 11,8 miliar.
- Selisih laporan penjualan hasil perikanan dengan laporan produksi pada delapan UPT Ditjen Perikanan Budidaya dengan taksiran nilai sebesar Rp 16,68 miliar.
3. Terdapat kelebihan pembayaran atas pengadaan barang dan jasa sebesar Rp 9,22 miliar dan denda keterlambatan belum dipungut sebesar Rp 7,81 miliar. Atas hal tersebut telah disetorkan ke kas Negara sebesar Rp 9,32 miliar sehingga tersisa sebesar Rp7,72 miliar.
4. Pemanfaatan BMN oleh pihak lain atas sebagian tanah dan bangunan pada Pelabuhan Perikana Samudra (PPS) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) pada Ditjen Perikanan Tangkap sebesar Rp 1,02 triliun tidak melibatkan Kemenkeu selaku Pengelola Barang, tidak didukung dengan IMB dan dokumen AMDAL, dan ketidak jelasan status asetnya atas kerjasama yang telah berakhir sebesar Rp 103,22 miliar. (dtf)