Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta - Anggota Wantimpres yang juga Katib Aam Nahdlatul Ulama (NU) Yahya Cholil Staquf berbicara dalam sebuah forum di Israel. Dia menjabarkan soal konsep rahmah dalam pemaparannya.
Kehadiran Gus Yahya adalah untuk jadi narasumber dalam forum yang diprakarsai American Jewish Committee (AJC). Yahya mengatakan kehadirannya merupakan inisiatif pribadi, tidak ada kaitannya dengan posisi sebagai wantimpres. Acara itu berlangsung pada Minggu, 10 Juni 2018.
AJC Global kemudian merilis video pemaparan Gus Yahya lewat kanal YouTube. Gus Yahya pertama-tama ditanyai oleh Direktur Internasional AJC bidang Hubungan Inter-agama Rabbi David Rosen selaku moderator acara tentang kesan menghadiri pertemuan di Yerusalem ini.
Sejauh ini, AJC baru mengunggah video ini saja yang menampilkan diskusi dengan Gus Yahya. Dalam video tersebut pun tidak secara khusus membahas tentang kondisi Palestina.
"Ini merupakan keberuntungan, keberuntungan Nahdlatul Ulama dan Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur, meninggal dunia meninggalkan generasi penerus. Presiden berjuang dan mengikuti langkah, apa yang saya dan teman-teman saya telah lakukan hingga kunjungan kami ke Yerusalem saat ini adalah sederhana, untuk mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid," ujar Gus Yahya seperti dikutip dalam video tersebut, Selasa (12/6).
David lalu menimpali Yahya, menurutnya momen kali ini bukanlah sekadar mengikuti apa yang telah dilakukan Gus Dur. David lantas bertanya apa yang bisa disampaikan Yahya kepada dunia.
"Idenya, visi Presiden Abdurrahman Wahid adalah untuk masa depan yang panjang untuk peradaban manusia. Jadi Presiden Abdurrahman Wahid telah melakukan bagiannya dalam mengejar visi dan sekarang giliran generasi penerusnya untuk meneruskan pekerjaannya. Kami beruntung, terima kasih kepada Presiden Abdurrahman Wahid bahwa kita meraih perbaikan dalam tugas kita dan kita sekarang melihat lebih jelas hasil dari bagian tugas tersebut," kata Yahya.
David lalu mengulas tentang kehadiran Gus Dur di forum serupa, juga dibicarakan tentang hubungan Islam dengan Yahudi. David lalu bertanya tentang hal yang sama kepada Yahya.
"Hubungan antara Islam dan Yahudi menurut sebutan saya adalah fluktuatif. Kadang berhubungan dekat, tapi di sisi lain dari sejarah, ada banyak konflik dan tensi. Secara umum kita tahu bahwa kita punya masalah dalam hubungan antara Islam dan Yahudi. Permasalahan--sebagian dari permasalahan--ada dalam pengajaran agama itu sendiri. Sekarang konteks terkini kita dari realitas, umat beragama--termasuk Islam dan Yahudi--harus menemukan cara baru untuk, pertama, memahami fungsi agama untuk kehidupan nyata dan kedua, menemukan interpretasi moral baru dari agama yang bisa membuat kita menuntun umat beragama lebih memiliki hubungan harmonis," tutur Yahya.
Menanggapi paparan Gus Yahya, David bertanya apakah mungkin untuk menginterpretasikan ayat di Al Quran ataupun hadis guna mencapai hubungan harmonis umat beragama. Gus Yahya lalu berkata bahwa itu bukan kemungkinan, tapi keharusan.
"Ini bukan hanya mungkin, tapi keharusan. Setiap kata dalam Quran berhubungan dengan konteks dari realitas. Nabi Muhammad saat bersabda, mengatakan apa yang terjadi pada saat itu, jadi Quran dan Hadis pada dasarnya adalah dokumen sejarah yang berisi tuntunan moralitas dalam merespons situasi tertentu. Saat situasi berubah, maka manifestasi spirit dan moralitas juga harus berubah juga," papar Yahya.
David lalu mengungkit kembali tentang pandangan Gus Dur untuk melawan ekstremisme. Dia lantas bertanya kepada Yahya tentang apa yang bisa ditawarkan Indonesia kepada dunia untuk melawan ekstremisme.
"Ini bukan soal menawarkan sesuatu dari Indonesia, karena Indonesia sendiri belum terbebas dari masalah. Kami memiliki masalah sendiri. Bahwa kami juga memiliki kearifan lokal asli yang membantu masyarakat untuk mengembangkan hubungan harmonis di antara lingkungan heterogen, namun tetap berpegangan dengan ajaran agama, termasuk Islam. Sekarang apa yang kita hadapi bersama, dunia hadapi bersama adalah situasi di mana ada konflik di mana-mana dalam belahan dunia berbeda. Pada konflik-konflik itu hampir semua menggunakan agama sebagai justifikasi atau senjata. Sekarang kita menghadapi pertanyaan, 'apakah kita ingin ini berlanjut atau kita mau masa depan alternatif?' Tak ada orang yang bertahan dalam situasi ini, setiap orang harus punya cara lain untuk menghadapi sesuatu. Kita, umat beragama harus bertanya pada diri sendiri, 'apakah ini benar-benar fungsi agama, apa yang orang lakukan sekarang?' atau 'adakah cara lain agar agama berfungsi untuk menyajikan solusi untuk atasi konflik?' Dunia harus berubah, semua pihak harus berubah, karena kalau kita ingin solusi, jika saya boleh pakai metafora, dokter selalu berkata bahwa obat tak akan berguna bagi penderita diabetes atau kelainan jantung kecuali pasien mengubah gaya hidup dan pola dietnya," papar Yahya.
Yahya lalu mengutip ayat Al Quran bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (QS 13:11). Gus Yahya lalu melanjutkan paparannya bahwa selama ini umat beragama berkonflik memakai sumber daya, ilmu pengetahuan, dan lainnya hanya untuk mengalahkan sesamanya.
"Dan ketika kita sampai pada situasi ini, kita tak bisa lagi berkata dari mana kita mulai atau bagaimana ini harus berakhir. Saya pikir sekarang ada cara sederhana, pilihan yang sangat mendasar yang memberikan kita kesempatan adalah tentang apa yang dalam Islam disebut 'rahmah', yang berarti kasih sayang dan menyayangi sesama. Kita harus memilih rahmah, karena awal mula sesuatu, setiap hal baik, adalah rahmah. Jika kita memilih jalan rahmah, kita bisa bicara tentang keadilan, karena keadilan bukan semata tentang cara kita mendapatkannya. Ini adalah kemauan untuk memberikan keadilan untuk sesama. Jika orang-orang tak punya rahmah, tak punya kasih sayang kepada sesama, masyarakat ini tak akan pernah mau memberikan keadilan kepada sesama. Jika saya bisa meminta kepada dunia, saya ingin meminta dunia, ayo kita pilih jalan rahmah!" tutur Yahya yang kemudian disambut tepuk tangan meriah hadirin di forum itu.
Pernyataan akhir Yahya terpotong suara tepuk tangan dan kemudian David memberikan konklusi. Menurut David ada kesamaan antara ajaran agama yakni tentang kasih sayang. David berharap pemikiran Yahya bisa jadi rujukan umat muslim seluruh dunia untuk menuju rekonsiliasi dan perdamaian.(dtc)