Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Tak bisa dipungkiri kalau bencana tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di perairan Danau Toba telah meninggalkan luka mendalam. Khususnya bagi keluarga korban, baik yang telah ditemukan maupun yang masih berstatus hilang.
Namun bencana tersebut tidak boleh dipandang sebagai kecelakaan biasa, di mana pemilik atau nakhoda kapal lalai merawat armadanya agar benar-benar mampu melayani penumpang dengan memuaskan. Atau ketidakpatuhan pada seruan BMKG agar menunda berlabuh karena cuaca yang tidak baik.
Dalam kaitan kampanye tentang Danau Toba yang dijuluki sebagai Monaco of Asia, di mana danau vulkanik tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu dari sepuluh destinasi wisata di Indonesia, kecelakaan Sinar Sinabung harus dikaitkan. Sehingga bencana yang bahkan sudah mendapatkan perhatian internasional itu tidak disikapi biasa saja.
Direktur Eksekutif Suluh Muda Indonesia, Kristian Redison Simarmata mengatakan itu dalam keterangan tertulisnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Kamis (21/6/2018). Diakui bahwa guna mendukung peningkatan angka kunjungan wisatawan ke Danau Toba sebagai Monaco of Asia, pemerintah sudah menunjukkan komitmen yang kuat pada pembangunan infrastruktur.
"Tapi memajukan Danau Toba tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur yang baik," tegas Kristian.
Katanya, harus ada perubahan mendasar dalam tata kelola Danau Toba sebagai destinasi wisata nasional. Salah satunya adalah terkait tentang keamanan serta kenyamanan. Bencana KM Sinar Bangun menandakan tidak adanya sistem pengawasan pelayanan.
Lebih detail dijelaskannya, tidak ada pengawasan terhadap kapasitas dan kelayakan kapal, tidak siapnya tim SAR, tidak disediakannya pengawas perairan serta fasilitas kesehatan.
Hal yang lebih mengecewakan, Krist mengungkapkan pembangunan infrastruktur yang dilakukan tidak berbanding lurus dengan pembenahan karakter dan mental masyarakat. Hal ini akan membahayakan bagi sistem keberadaan dan budaya masyarakat Batak sebagai penduduk lokal.
Kristian mencontohkan terjadinya tindakan saling mengklaim hak kepemilikan atas tanah untuk kemudian dijual kepada investor yang berminat mendirikan usahanya di sekitar Danau Toba. Hal ini terkait dengan maraknya rencana pengembangan melalui Badan Otorita Danau Toba (BODT). Tak bisa dihindari, pertikaian antar keluarga atau kelompok jadi mengemuka.
Tidak adanya pembenahan karakter dan mental masyarakat, ujar Krist, membuat warga di sekitar Danau Toba tidak menjadi subjek atau pelaku dalam pengembangan daerah tinggalnya. Cepat atau lambat, jika hal itu dibiarkan, warga lokal akan tergusur dari tanah ulayatnya. Dampak ikutannya, adat istiadat dan budaya Batak bakal hilang.
"Jika tidak ada evaluasi dan kerja keras dan kerja keras untuk memperbaiki sektor-sektor kunci dalam pengelolaan pariwisata Danau Toba, maka proyek yang berjalan selama ini akan sia-sia. Bahkan akan menyingkirkan masyarakat Batak dari budaya dan adat istiadatnya," kata Kristian.