Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Permasalahan stunting atau kurang gizi kronis saat ini menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah penderita stunting di Indonesia, terutama yang dialami oleh anak-anak usia sekolah. Namun keadaan ini semakin membuat miris, pasalnya, hasil penelitian dokter dengan data pemerintah malah tidak sinkron.
Hal itu dikatakan Ketua IDI Sumut dr Edy Ardiansyah SpOG (K) kepada medanbisnisdaily.com di Medan, Jumat (22/6/2018). Ia mengungkapkan, dari pertemuan dengan Perhimpunan Ikatan Dokter Anak Indonesia (PIDAI) di Labuhanbatu Selatan (Labusel), menemukan adanya penderita stunting. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan para dokter anak tersebut beberapa bulan yang lalu. Jumlahnya juga cukup tinggi. Tetapi, di dalam kategori pemerintah disebutkan malah tidak ada stunting.
"Perbedaan ini terjadi. Tetapi kita tidak mau dilema soal perbedaan ini, karena tolok ukurnya juga berbeda-beda. Namun yang kita sayangkan adalah program kita mengedepankan promosi, reprentif, itu sangat sedikit sekali saat ini. Kita terlalu terlena dengan rehabilitasi dan kuratif. Sementara pernyataan yang paling kuat adalah pencegahan dari pada pengobatan, tetapi saat ini malah sudah terbalik," sesal dr Edy.
Oleh karena itu, untuk masalah stunting, Edy tidak ingin adalagi perbedaan terkait hal itu, berkaca dari permasalahan stunting di Labusel, bahwa di sana telah terjadi stunting, tetapi dari data Dinas Kesehatan (Dinkes) dengan latar belakang WHO menemukan tidak ada perbedaan dari segi stunting.
"Untuk ke depan, kita lebih fokus terhadap profesi kedokteran, tenaga-tenaga kedokteran yang mengutamakan empat kategori program kesehatan, yakni promosi, prefentif, rehabilitasi dan kuratif. Dengan didukung regulasi.
"Untuk itulah, kita berharap pemerintah dapat duduk bersama dalam memajukan suatu daerah agar negara dapat maju. Jika berdiri sendiri akan sulit dapat berhasil menjalankan sebuah program, karena manusia ini sifatnya kompkeks. Harus mengedepankan penempatan dokter pada selayaknya pada tempatnya, sesuai pada sarana yang mendukung, dan juga membuat regulasi terkait program kesehatan, dan ini sangat penting agar fungsinya dapat tercapai. Jika hanya mengedepankan kuratif tidak akan ada artinya, jika tanpa promotif," bebernya.
Disinggung ketidaksinkronan tersebut antara IDI dan pemerintah, Edy menjelaskan, IDI adalah sebuah lembaga perkumpulan profesi dokter, yang berperan disini seharusnya adalah Dinkes. Jika program sering tidak sinkron, masalah tersebut bukan berada di IDI, tetapi pemerintah yang tidak dapat "jalan beriringan".
"Jadi jangan disebut IDI yang tak masuk ke pemerintah, tetapi pemerintah yang tak masuk dengan program pemerintah. Jika IDI sendiri masih selalu memberikan saran dan masukan kepada Dinkes dan stakeholder. Namun, yang berperan di sini adalah Dinkes dan kami tidak ingin membuat kesenjangan antara IDI dan pemerintah. Tetapi kami minta setidaknya ada disangkutpautkan IDI di dalam program pemerintah, di Dinkes dan di dalam Undang-Undang Kesehatan, demi dapat bersama membangun negara ini," ujarnya.