Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Ankara - Warga yang berkunjung ke pasar Manisa, kota di tepi Laut Aegea, Turki, takjub melihat harga bahan-bahan kebutuhan pokok dalam beberapa pekan terakhir. Harga bawang merah melejit hingga 7 lira atau Rp 21 ribu per kilogram, sementara harga kentang melompat menembus 5 lira atau Rp 15 ribu per kilogram.
Bagi para pedagang di pasar seperti Halil Ibrahim, melonjaknya harga bawang merah dan kentang bukan kabar menyenangkan. "Dalam beberapa tahun terakhir, kami menjual bawang merah 1 atau 2 lira. Kami biasa menjual tiga kilogram bawang merah dan kentang 5 lira. Tapi sekarang uang sebesar itu tak bisa untuk membeli satu kilogram bawang merah," kata Halil, dikutip harian Cumhurriyet, beberapa hari lalu. Naiknya harga membuat warungnya sepi pembeli. "Orang-orang kesulitan membelinya."
Padahal bawang merah, seperti halnya cabai dan bawang putih di Indonesia, merupakan bumbu pokok dalam masakan ala Turki. Seorang warga, Pervin Durmaz, mengatakan, untuk sementara akan mengurangi belanja bawang merah. "Mungkin kami tak akan mengkonsumsi bawang merah lagi," kata dia.
Wajar jika warga Manisa, juga warga Turki lain menjerit. Menurut data dari Istanbul Food Market, dibandingkan harga setahun lalu, harga bawang merah sudah meroket hingga 150 persen, harga kentang naik hingga 80 persen, bahkan harga bawang putih sudah terbang hingga empat kali lipat.
Tak terang benar apa yang membuat harga bawang merah dan kentang terus merangkak naik. Ada yang menduga, penimbunan barang dan gagal panen jadi biang kenaikan harga. Tapi Menteri Peternakan, Pertanian, dan Makanan, Ahmet Esref Fakibaba punya 'teori' sendiri. Menurut Ahmet, ada 'tangan-tangan gelap' yang bermain di balik layar, mengerek harga bahan-bahan pokok di Turki.
"Baru beberapa bulan lalu para petani protes mengapa harga kentang hanya 50 sen. Sekarang aku terkejut harga kentang menjadi 6 lira," ujar Ahmet dikutip HurriyetDailyNews, kemarin. "Ada tangan-tangan gelap yang bermain, dan demi Allah, kita akan menghancurkannya." Baru dua hari lalu, untuk meredam harga bahan pokok, pemerintah Turki membuka impor bawang merah dan kentang.
Menjelang pemilihan Presiden Turki yang berlangsung hari ini, kenaikan bahan pokok, juga rontoknya nilai mata uang Lira, memang menjadi isu sensitif bagi pemerintah di Ankara. Dalam beberapa bulan terakhir, nilai lira memang loyo kurang tenaga. Dalam sebulan terakhir saja, nilai lira anjlok hingga 16 persen terhadap dolar Amerika Serikat.
Satu suara dengan menterinya, Presiden Recep Tayyip Erdogan menuding, ada kekuatan gelap asing yang berusaha menggoyang Turki lewat nilai tukar mata uang. "Kalian tidak akan bisa memukul kami dengan mata uang. Kalian tak bisa memukul kami dengan manipulasi," Presiden Erdogan berpidato di depan pendukungnya di kota Isparta, kemarin.
Apakah benar atau tidak tudingan Presiden Erdogan, sejumlah survei menunjukkan kekuasaannya tak sekokoh dulu lagi. Sebagian besar lembaga survei meramal, Presiden Erdogan tak akan bisa memenangkan pemilihan Presiden Turki dalam satu putaran. Berdasar konstitusi, pemenang Pemilihan Presiden Turki harus meraup paling sedikit 50 persen+1 suara.
Hasil survei Gezici yang dilansir pada pertengahan Juni lalu menunjukkan Presiden Turki petahanan itu masih unggul lumayan jauh dari lawan terkuatnya, Muharrem Ince. Erdogan meraup 47,1 persen, tak cukup untuk menang dalam satu putaran. Bahkan menurut survei AKAM, Erdogan hanya mendapat 44 persen, sementara Ince meraup 28,3 persen suara.
Satu kabar yang sedikit melegakan pendukung Erdogan datang dari survei bersama Foresight Danismanlik bersama Bloomberg. Menurut survei Bloomberg, Erdogan bisa menang dalam satu putaran meski dengan kemenangan sangat tipis, 50,8 persen suara. Erdogan memang punya basis pendukung setia lumayan besar. Bagi mereka yang memuja Erdogan, tak ada pilihan lebih baik di antara semua kandidat. Tapi dengan kemenangan setipis itu, partai Erdogan butuh teman dalam pemerintahan. "Erdogan butuh dan selalu butuh mitra koalisi," kata Mert Yildiz, pendiri Foresight. dtc