Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Tahun 1980-an, aktivis Arif Budiman menyebut bahwa pembangunan adalah penggusuran dan penyingkiran orang-orang kecil dari rumahnya. Pembangunan juga berarti pergantian dari hal-hal yang alamiah menjadi hal-hal fisik dan menyakiti hati orang-orang di level paling bawah. Pembangunan tanpa kebudayaan adalah perusakan.
Dosen Fakultras Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU), Dadang Dharmawan Pasaribu mengatakannya kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (26/5/2018) dalam acara halal bi halal yang digelar Teater Rumah Mata di di sanggarnya yang berada di Museum Situs Kotta Cinna, di Paya Pasir, Medan Marelan.
Pengamat politik Sumut dan balon Anggota DPD-RI asal Sumut 2019 ini menilai bahwa ternyata apa yang selama ini disebut pembangunan bukanlah pembangunan, justru perusakan.
Dikatakannya, yang disebut pembangunan oleh pemerintah ternyata adalah hasilnya perusakan bagi masyarakat.
"Saya berharap dengan Teater Rumah Mata kita bisa menyentuh hal-hal yang non fisik. Bahwa yang paling luar biasa adalah faktor intangible atau yang di luar fisik, saya kira itu adalah nilai luhur, nilai budaya. Saya berharap itu dikembangkan Teater Rumah Mata," katanya.
Potret pembangunan yang melupakan aspek kebudayaan bisa dilihat pada Danau Siombak. Pendiri Teater Rumah Mata, Agus Susilo mengatakan, Danau Siombak dulunya merupakan tiga desa yang ditenggelamkan karena pasirnya digali untuk pembangunan jalan raya.
Dia merekamnya di dalam puisinya yang berjudul Siombak yang dibacakan Susi Suhaemy. Puisi itu menceritakan tentang pembangunan di Medan yang menghabisi perkampungan di wilayah situs Kotta Cinna.
Danau Siombak, kata dia, terjadi akibat pengerukan pasir untuk pembangunan jalan. Lalu, situs Kotta Cinna itu menjadi lokasi pembuangan sampah dari masyarkat perkotaan. Setiap hari bisa dilihat aliran sampah dari kota.
Danau itu penuh sampah karena pembangunan kota. Dikatakannya, selama ini pembangunan tidak memperhatikan aspek kebudayaan.
"Situs kebudayaan dihancurkan. Pembangunan tak punya visi kebudayaan masyarakat Sumut yang multi etnis dan multi kultur," katanya.
Di acara tersebut juga dipentaskan penampilan anak-anak Paya Pasir dalam drama yang menceritakan kehidupan masyarakat, tentang Kehidupan sosial masyarakatnya. Masyarakat hidup seperti dilupakan, pendidikan anak-anaknya tak diperhatikan pemerintah, dan sulitnya nelayan mencari ikan karena banyaknya sampah di Danau Siombak. "Kebudayaan ini kan nomor 3 atau 4 dalam kemajuan pembangunan," katanya.
Dalam acara halal bi halal yang dihadiri banyak tamu undangan dari masyarakat, seniman, kalangan akademisi dan unsur pemerintah. Dosen pasca sarjana bahasa dan sastra Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al Washliyah, Rosmawaty Harahap mengatakan bahwa sastra bisa menjadi semacam gerakan pembangunan di perkotaan.
Sedangkan Terbit Tarigan, KTU Taman Budaya Sumatera Utara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara mengatakan, sudah semestinya antara seniman dan pemerintah bersinergi membangun kesenian dan kebudayaan.
"Kami sebagai pemerintah, saya sebagai Kasi Seni Budaya, mendukung yang akan dilakukan Teater Rumah Mata. Kami siap membantu dan mendorong seniman-seniman di Sumatera Utara ini berkembang dan maju. Sumatera Utara kaya dengan suku dan etnis. Kebudayaan juga kaya," katanya.