Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Tak seperti komisioner atau mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) lainnya yang berburu pada jabatan di lembaga penyelenggara pemilu tersebut, sosok satu ini memutuskan lebih baik meninggalkannya. Sesudah setahun lebih menjabat, dia kini bersiap meninggalkan posisi yang kerap "dikejar-kejar" orang banyak itu.
Dia adalah sosok bersahaja, Iskandar Zulkarnain (52). Melalui proses pergantian antar waktu tahun lalu dia menggantikan posisi Evi Novida Ginting sebagai komisioner KPU Sumut. Hingga berakhirnya periode kepemimpinan 2013-2018 tak lama lagi, genap 1,5 tahun Iskandar menjabat komisioner.
Seperti komisioner-komisioner lainnya yang begitu berkeinginan kuat agar kembali menjadi pejabat di KPU Sumut, sesungguhnya pemegang gelar doktor ilmu komunikasi ini berpeluang besar mendapatkannya. Tetapi sikapnya tegas, tinggalkan KPU dan kembali ke kampus mengajar sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Dikisahkannya kepada medanbisnisdaily.com beberapa waktu lalu, ada prestasi yang jauh lebih prestisius yang hendak diraihnya sehingga tak berminat menjadi komisioner KPU. Prestasi dimaksud tak lain adalah gelar profesor. Gelar akademik tertinggi bagi setiap pengajar atau dosen di perguruan tinggi.
"Saya ingin mewujudkan mimpi meraih gelar tertinggi sebagai seorang akademisi. Saya pikir sebagai manusia, semua orang bermimpi mendapatkan prestasi tertinggi di dalam hidupnya. Saya juga demikian," terangnya.
Papar Iskandar, bertahan menjadi komisioner KPU akan menghambat keinginannya menjadi profesor atau guru besar secepat mungkin. Ada ketentuan baru tentang manajemen Aparatur Sipil Negara, di mana seseorang yang "nyambi" bekerja di lembaga pemerintahan lain harus mengambil masa cuti. Pertama, konsekuensinya tidak mendapat upah dan tunjangan lainnya. Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan niatnya meraih gelar profesor.
Dengan asumsi itu, kata Iskandar yang merupakan Kepala Divisi Hukum KPU Sumut, dia merasa "membuang" waktu di tengah upayanya mendapat gelar profesor. Ditambah lagi, dari sisi pendapatan perbedaannya tidak begitu signifikan dibandingkan dengan menjadi dosen.
Jadilah dia balik kanan, "banting setir" pulang ke "ancak" lamanya di kampus.
Dari sisi pencapaian point sebagai syarat menjadi seorang guru besar, yakni 850, dia menyatakan saat ini sudah mencukupi. Dengan gelar doktor Ilmu Komunikasi yang diraihnya dari Universitas Padjajaran, dia sudah mengantongi nilai 700. Guna menutupi kekurangannya, lelaki bertubuh tinggi dan besar ini sudah mengumpulkan berbagai aktivitas akademik yang pernah dilakukannya untuk kemudian dikonversi menjadi point.
Di antaranya adalah menjadi pembicara di sejumlah even, menulis karya ilmiah di jurnal dengan kualifikasi baik, dan sebagainya.
"Kalau saya hitung-hitung dari situ bisa dapat point 500. Tapi untuk itu nanti ada tim penilai dari kementerian," ujarnya.
Dia tidak berani sesumbar kapan gelar profesor itu bisa dilekatkan di depan namanya. Yang pasti seluruh persyaratan sudah dipenuhi. Oleh pihak kampus yang sebelumnya meneliti, persyaratan yang dimilikinya agar layak menjadi guru besar sudah dikirimkan ke Jakarta.
Selama menjabat komisioner di KPU Sumut, Iskandar mengaku mendapat banyak pelajaran dan pengalaman baru. Khususnya terkait ilmu komunikasi yang menjadi keahliannya. Diakuinya ada teori komunikasi yang pada kenyataannya tidak dapat dipaksakan penggunaannya, harus "kompromi".
"Saya merasa ada yang harus lebih diprioritaskan, itu sebabnya saya harus kembali ke kampus," ungkapnya.