Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Kasus kerusuhan berlatar belakang SARA yang terjadi di Tanjung Balai Sumut dua tahun lalu kini mulai diadili di Pengadilan Negeri (PN) Medan. Terdakwa, Meiliana (44) perempuan yang sebelumnya memprotes suara azan dan memicu kerusuhan hanya bisa menangis di kursi pesakitan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Anggia Y Kesuma mendakwa Meiliana telah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 156 dan Pasal 156A KUHP. Perempuan itu diduga dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Sidang perdana perkara itu sendiri sebelumnya digelar pada, Selasa (26/6) pekan lalu. Dalam persidangan kali ini, Selasa (3/7/2018) terdakwa Meiliana menyampaikan eksepsinya dengan tangis di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Wahyu Prasetyo Wibowo.
Dalam dakwaan yang disampaikan oleh JPU sebelumnya, kasus kerusuhan itu bermula ketika Meiliana mendatangi tetangganya di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Tanjung Balai Selatan, Tanjung Balai, Jumat (22/7/2016). Terdakwa berkata kepada tetangganya, “Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara mesjid itu kak, sakit kupingku, ribut” sambil menggerakkan tangan kanannya ke kuping kanan.
Permintaan Meiliana kemudian disampaikan ke BKM Al Makhsum. Jumat (29/7/2016), tepat sekitar pukul 19.00 WIB para pengurus masjid selanjutnya mendatangi kediamannya dan mempertanyakan permintaan perempuan itu. “Ya lah, kecilkanlah suara mesjid itu ya, bising telinga saya, pekak mendengar itu,” jawab Meiliana.
Sempat terjadi adu argumen ketika itu, namun setelah pengurus masjid kembali untuk melaksanakan salat isya, suami Meiliana, Lian Tui, datang ke masjid untuk meminta maaf. Meski demikian hal itu terlanjur menjadi perbincangan warga dan membuat masyarakat menjadi ramai.
Sekitar pukul 21.00 WIB Kepala lingkungan setempat kemudian membawa Meiliana dari rumahnya ke kantor kelurahan setempat. Sekitar pukul 23.00 WIB warga semakin ramai dan berteriak. Bukan hanya itu, warga mulai melempari rumah Meiliana hingga kejadian itu meluas dengan amukan warga yang membakar dan merusak sejumlah vihara maupun klenteng serta sejumlah kendaraan di kota itu.
Peristiwa itu pun selanjutnya masuk ke ranah hukum, Meiliana dilaporkan ke polisi. Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara membuat fatwa tentang penistaan agama yang dilakukan Meiliana. Penyidik menetapkan Meiliana sebagai tersangka. Sekitar 2 tahun berselang, JPU menahan perempuan itu di Rutan Tanjung Gusta Medan sejak 30 Mei 2018.
Sementara dalam eksepsi Meiliana yang dibacakan penasihat hukumnya, Ranto Sibarani. Dalam tanggapannya atas dakwaan JPU, mereka mempertanyakan penerapan Pasal 156 dan 156A pada perkara ini. “Perbuatan yang mana, apakah kejadian 22 Juli atau 29 Juli 2016?” tanya Ranto di hadapan majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo.
Ranto menyatakan bahwa pada 22 Juli 2016, terdakwa hanya bertanya kepada tetangganya soal suara azan masjid yang semakin besar. “Jadi tidak ada maksud tertentu lainnya,” katanya.
Lalu pada 29 Juli 2016, itu rumah terdakwa didatangi perwakilan warga mempertanyakan maksud dari pertanyaannya. Menurut Ranto, hal itu kemudian memicu kesalahpahaman hingga berbuntut kejadian pembakaran klenteng dan vihara. Ranto meminta agar majelis hakim memutuskan perkara itu seadil-adilnya. Dia meminta agar Meiliana dibebaskan dari seluruh dakwaan jaksa.
Setelah mendengarkan eksepsi terdakwa, majelis hakim selanjutnya menunda proses persidangan. Sidang akan dilanjutkan pada, Rabu (10/7/2018) pekan depan dengan agenda mendengarkan jawaban jaksa atas eksepksi terdakwa.