Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sangat penting. Sebagai kawasan yang tahun 1980 ditunjuk sebagai cagar biosfer, lalu setahun kemudian ditetapkan sebagai Asean Heritage Park (AHP) dan banyak predikat lain disandangnya, menunjukkan pentingnya keterjagaan ekosistem TNGL di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Hotmauli Sianturi, mengatakan itu dalam Konsultasi Publik Collaboratif Management Plan (CMP) TNGL di Hotel Santika Dyandra, Selasa (31/7/2018).
Dalam sambutannya, Hotmauli yang juga merupakan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) ini mengatakan, TNGL juga memiliki ekosistem yang lengkap mulai dari pantai hingga pegunungan.
"Kemudian keragaman jenis tumbuhan dan satwanya. Ada satwa kunci seperti gajah sumatera, badak sumatera, orangutan, dan harimau sumatra," katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, TNGL tidak lepas dari berbagai tekanan yang mengakibatkan ekosistemnya terdegradasi. Tekanan tersebut antara lain aktifitas perambahan, penebangan liar, perburuan, kebakaran hutan dan lain sebagainya. Hal tersebut membawa implikasi kepada tidak terkontrolnya pengelolaan TNGL karena keterbatasan pengelolaan dan kurang sadarnya masyarakat.
"Kurang lebih 800 ribu hektare kawasan TNGL, dengan 11 kawasan, tentu saja BBTNGL membutuhkan banyak mitra untuk turut serta dalam pengelolaan TNGL. Peran dari mitra sangat penting," ungkapnya.
Hotmauli menjelaskan, saat ini areal terbuka di TNGL mencapai 35.000 hektare dan terkonsentrasi di Kabupaten Langkat. Dengan demikian, harus mendapat perhatian serius lantaran berimplikasi sangat besar terhadap keanekaragaman hayati di dalam kawasan dan berdampak negatif terhadap kestabilan ekosistem TNGL. Areal tersebut juga telah mengurangi dan memfragmentasi wilayah jelajah satwa liar sehingga terjadi konflik satwa serta membatasi perkembangan satwa liar.
"Dari hasil kajian kegiatan patroli 2014 dan 2017 diketahui intensitas aktifitas tekanan adalah di daerah dataran rendah di mana areal tersebut terdapat keanekarahgaman hayati," katanya.
Dalam penanganan permasalahan di TNGL, BBTNGL tidak bisa sendiri. Karenanya, harus ada keterliibatan Pemerintah Daerah, Camat, hingga masyarakat untuk mengatasi perambahan di Langkat. Masing-masing memiliki potensi yang dapat diintegrasikan dalam pengelolaan TNGL sehingga ekosistem TNGL dapat terjaga secara optimal. Tentunya, kata dia, pemanfaatan kawasan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "Karena kalau masyarakat di dalam sejahtera semakin mudah diajak menyelamatkan kawasan ini," katanya.
Dijelaskannya, kawasan TNGL dipercaya Asean Centre for Bidifersity (ACB), sebuah lembaga yang mengkoordinir pengelolaan AHP untuk menerapkan CMP dalam pengelolaanya. CMP, menurutnya, dapat menjadi wahana untuk mengakomodir proses inflitrasi program antar pihak. Apalagi dalam proses penyusunannya melalui konsultasi publik.
"Sesuai dengan pointers dari Direktur Jendral Konservasi Pak Wiratno, diharapkan small grant programe (SGP) ini dapat mengisi gap keterbatasan sumber daya BBTNGL dalam mendukung role model TNGL. SGP ini bersifat insklusif, jadi menerima masukan para pihak. Nah di CMP ini ada 4 elemen, ekowisata, comunity development, penyelesaian konflik tenurial khususnya di Sekoci, dan restorasi kawasan," katanya.
Direktur Yayasaan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo mengatakan, kegiatan ini sebagai bagian dari upaya untuk berkontribusi mengurangi ancaman di TNGL. Konsultasi Publik ini, kata dia, adalah proses membuat perencanaan untuk menghilangkan ancaman di TNGL dengan melibatkan banyak pihak. "Ancaman itu harus ditangani banyak pihak. Kita bekerja untuk menghilangkan ancaman itu. Seluruh proses di sini dengan pendekatan ke tujuan besarnya yakni mengurangi ancaman. Kita menuju ke sana dan sana harus ada dampak positif kepada masyarakat," katanya.
Peran YOSL-OIC, kata dia, memfasilitasi perrencanaanya sehinga nantinya dapat menjadi panduan kepada para mitranya, termasuk YOSL-OIC dalam pengelolaan TNGL. Dikatakannya, nantinya akan dana sebesar 1 juta euro untuk pengelolaan TNGL dan Taman Nasional (TN) Way Kambas. Dana tersebut untuk dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memang sudah punya bukti berkontribusi terhadap TNGL dan TN Way Kambas untuk kemudian bekerjasama di SMP ini. "Kegiatan yang diutamakan untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Selebihnya untuk pengelolaan kawasan," katanya.
Sementara itu, Sri Ratnaningsih dari Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, CMP adalah program region. Di tingkat Asean, ada kerjasama dengan Jerman dan salah satu programnya untuk keanekaragaman hayati (biodiversity). "Salah satu programnya adalah dengan small grant program (SGP= dana hibah kecil) untuk mendukung pengelollaan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera, dari 8 kawasan konservasi di situ, di antaranya adalah TNGL dan TN Way Kambas. Nah, total dananya ada 1 juta euro, dibagi secara proporsional lah antara TNGL dan TN Way Kambas," katanya.