Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada sesi perdagangan hari ini, Rabu (5/9/2018) telah melampaui level Rp 15.000/dolar AS. Pemicu utama masih ditenggarai oleh buruknya kondisi eksternal, di antaranya kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, krisis yang melanda sejumlah negara berkembang, ditambah dengan perang dagang yang terus berkecamuk yang diinisiasi oleh Amerika Serikat.
Tekanan eksternal yang begitu besar tersebut membuat sejumlah indikator ekonomi internal mengalami perubahan. Rupiah melemah, CAD melebar dan membuat serangkaian kebijakan ekonomi pemerintah kembali dievaluasi. "Sebenarnya siklus krisis seperti ini juga terjadi sebelumnya," kata Analis Lotus Andalan Sekuritas, Gunawan Benjamin.
Dia menyebutkan, pada 1998 Indonesia pernah mengalami krisis parah, kemudian pada 2008 krisis sektor perumahan di AS serta muncul krisis di Eropa menyebaban ekonomi Indonesia juga dalam tekanan.
"Tahun ini kita kembali berhadapan dengan krisis yang tidak jauh berbeda. Namun dari siklus 10 tahunan tersebut, indikatornya sangat jauh berbeda terlebih jika dibandingkan dengan saat inim," jelasnya.
Salah satunya adalah tekanan laju inflasi yang relatif terkendali. Inflasi tahun ini masih sesuai target BI, berbeda dengan inflasi di tahun 1998 yang sempat menyentuh level 17%. Saat ini inflasi nasional masih di kisaran level 3%. Laju pertumbuhan juga terpantau stabil di kisaran 5%, jauh berbeda dibanding krisis 1998 yang minus 13%.
Pengalaman krisis selanjutnya nyaris mirip tahun ini. Jika berkaca kepada keberhasilan pemerintah dalam meredam mata uang rupiah, pada 2005 BI menaikkan bunga acuan hingga 12,75%.
"Jadi kalau berhitung kebijakan apa yang akan diambil pemerintah dalam waktu dekat terkait dengan pelemahan rupiah, dengan mengabaikan opsi menaikkan harga BBM, maka ada beberapa hal yang bisa dicermati," ungkapnya.
Pertama, pemerintah sudah menjadwalkan ulang (menunda) sejumlah proyek infratstuktur yang membebani rupiah. Kebijakan ini sudah diambil. Namun dampak negatifnya adalah pengangguran bertambah, selanjutnya pertumbuhan ekonomi melambat. Kebijakan membatasi sejumlah kebutuhan impor secara langsung yang dilakukan pemerintah saat ini juga memberikan dampak yang sama.
Kedua, BI menaikkan bunga acuan secara drastis atau hingga dua digit. Hal ini pernah dilakukan di era Gubernur BI, Budiono. Kala itu bunga acuan terkerek sampai 12,75%.
"Menaikkan bunga acuan ini sangat memungkinkan. Dikarenakan bunga acuan kita khususnya dari BI 7 Day Repo Rate saat ini masih bertengger di level 5,5%," jelasnya.
Artinya ruang menaikkan bunga acuan masih terbuka jika mengacu kepada besaran BI rate yang pernah ditetapkan saat mengahadapi tekanan rupiah di tahun 2005 silam.
Kebijakan lain yang bisa dilakukan oleh BI adalah mengintervensi pasar keuangan dengan sejumlah instrumen. Hanya saja kebijakan seperti ini, juga nantinya akan menjadi penghambat penyaluran kredit yang bermuara pada perlambatan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Selanjutnya adalah dengan mengandalkan pinjaman dari lembaga keuangan seperti IMF, maupun pasokan valas yang sudah tertuang dalam perjanjian pertukaran mata uang atau currency swap. Kebijakan seperti ini memang bisa dilakukan, namun pemerintah cenderung untuk menjadikan kebijakan tersebut sebagai benteng terakhir.
Opsi lain yang bisa diambil adalah dengan menaikkan harga BBM. Kebijakan seperti ini sangat berkorelasi dengan pengendalian defist neraca perdagangan. Kebijakan ini sangat tepat diambil, karena secara fundamental kebijakan seperti ini akan mengurangi permintaan dolar AS di Tanah Air. "Namun, butuh kemauan politik yang besar untuk merealisasikannya," jelasnya.
Terakhir adalah dengan menggenjot ekspor. Tetapi di tengah kondisi perang dagang seperti sekarang, krisis yang melanda sejumlah Negara, ditambah dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan penurunan harga komoditas dunia, bisa dipastikan menggenjot ekspor sangat tidak memungkinkan bisa menyelesaikan masalah. Terlebih bila berharap ada manfaatnya dalam jangka pendek.
Termasuk kebijakan terkait dengan penarikan devisa hasil ekspor yang terus diupayakan. Ataupun upaya lain yang mengarahkan untuk melepas aset dalam bentuk dolar AS belum tentu efektif dan hasilnya bisa didapat secara instan.
"Selebihnya kita hanya bisa berharap bahwa kondisi ekonomi global bisa membaik, dan memberikan pengaruh positif bagi perekonomian nasional secara menyuluruh," pungkasnya.