Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan buka suara terkait neraca dagang tekor karena impor migas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia di bulan Agustus 2018 defisit US$ 1,02 miliar, di mana defisit migas US$ 1,6 miliar dan non migas surplus US$ 630 juta.
Jonan menjelaskan, outlook penerimaan migas dan minerba sampai akhir tahun diperkirakan mencapai Rp 240,3 triliun. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan proyeksi dalam Anggaran Penerimaan Negara dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 156,7 triliun.
Dari Rp 240,3 triliun outlook penerimaan migas dan minerba, sekitar Rp 200 triliun berasal dari migas.
"APBN itu Rp 156 triliun doang penerimaan migas dan minerba, outlooknya Rp 240 triliun," kata dia di Kementerian ESDM Jakarta, Senin (17/9/2018).
Sementara, outlook untuk subsidi energi di tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp 148,9 triliun. Dalam APBN, subsidi energi sebesar Rp 94,6 triliun.
Dia mengatakan, outlook penerimaan negara dan subsidi untuk tahun 2018 sama-sama naik. Hal itu disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah.
"Penerimaan negaranya juga naik dari Rp 156 triliun menjadi Rp 240 triliun, Naiknya juga 60% sama-sama naik. Kenapa? jadi gini loh, harga minyak naik, subsidinya harus dinaikan naik. kalau enggak harga eceran naik. Tapi, penerimaan negara naik, bagi hasil minyak kan kita terima lebih tinggi," ujarnya.
Lanjutnya, kelebihan penerimaan negara tahun ini diproyeksi akan lebih besar dengan perhitungan penerimaan migas dan minerba dikurangi subsidi energi. Dalam APBN, kelebihan penerimaan sebesar Rp 62,1 triliun, sedangkan dalam outlook diperkirakan mencapai Rp 91,4 triliun.
"Jadi, kesimpulannya begini, sebenernya di APBN surplus penerimaan migas dan minerba dibandingkan subsidi energi total estimasinya Rp 62 triliun. Sekarang outlook surplusnya naik 50%, jadi Rp 91 triliun," ujarnya.
"Memang neraca perdagangan pasti minus, karena harga impornya tinggi, ekspornya juga tinggi tapi pasti kalah karena secara nilai ICP kita misal US$ 48 asumsi APBN di awal 2018 sekarang ICP US$ 67, naiknya hampir 50% yang pasti impor naik, defisit neraca perdagangan naik," tutupnya.(dtf)