Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Lima jurnalis peliput gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, mendapatkan penghargaan dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Penghargaan itu diberikan karena aksi heroik mereka salah satunya saat membantu warga Palu menyelamatkan diri dari tsunami.
Lima jurnalis yang mendapatkan penghargaan yakni Abdy Mari (tvOne), Ody Rahman (NET), Rolis Muhlis (Kompas TV), Jemmy Hendrik (Radar TV), dan Ary Al-Abassy (TVRI).
Kisah heroik mereka berawal saat mereka hendak meliput kondisi warga di Kecamatan Sirenja, Donggala, pasca gempa magnitudo 5,9 pada Jumat (28/9). Lima jurnalis itu kemudian berangkat bersama menggunakan satu mobil.
Perjalanan dari Palu ke Sirenja biasanya memakan waktu dua jam dengan menyusuri sisi utara teluk. Namun, setelah satu jam perjalanan, dekat Pelabuhan Pantoloan gempa kembali mengguncang.
"Saya langsung tarik rem tangan, mobil berhenti di tengah jalan," tutur Ody yang mengemudikan mobil.
Tak berselang lama, gempa kembali terjadi hingga menggerakkan mata Hendrik untuk menoleh ke arah laut. "Itu tsunami!" teriak Hendrik. Teriakan Hendrik itu menyadarkan warga yang mendengar, warga juga ikut berteriak.
"Kami langsung masuk mobil dan putar balik. Kami lihat banyak orang lari ke sana ke mari," cerita Abdy.
"Kami buka pintu dan menarik beberapa masuk. Sampai tak ada lagi yang bisa masuk. Ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, semua histeris dan menangis di dalam mobil yang sesak. Ketakutan dan tercekam," sambungnya.
Ody kemudian mengendarai mobil ke dataran yang lebih tinggi. Setelah merasa aman, lima jurnalis dan warga yang ikut keluar mobil.
"Kami semua keluar. Saya hitung-hitung, ada 12 orang yang ikut kami. Total 17 dalam mobil yang hanya untuk 8 orang termasuk pengemudi. Saya tidak tahu bagaimana bisa muat sebanyak itu," heran Abdy.
Lima jurnalis itu kemudian memutuskan untuk kembali ke dekat pelabuhan tadi untuk meliput situasi. Tak lama meliput situasi dan kondisi pasca tsunami, lima jurnalis itu ingat keluarga masing-masing di Palu. Mereka mencoba menghubungi tapi tidak tersambung.
"Tak ada lagi sambungan telepon. Kami bingung dan panik. Bagaimana keluarga kami," tutur Ody.
Karena tak juga tersambung, lima jurnalis itu memutuskan untuk kembali ke Palu. Selain untuk memastikan kondisi keluarga, mereka juga berkepentingan untuk mengirim berita.
Salah satu tokoh masyarakat di Palu yang juga pendiri IJTI, Erick Tamalagi mengaku menjadi saksi bagaimana lima jurnalis itu bekerja secara profesional, namun tak mengesampingkan kemanusiaan.
"Apa yang dilakukan teman-teman para jurnalis tv di Palu, menurut saya, adalah kesadaran yang tinggi sebagai seorang jurnalis dan kepala keluarga," ucap Erick.
"Kegigihan terus meliput dan mencari spot untuk mengirimkan gambar di saat jaringan internet sangat terbatas dan membagi perhatian untuk keselamatan keluarga yang berada di pengungsian, adalah perjuangan yang sangat patut kita hargai," imbuhnya.
(dtc)