Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Banda Aceh - Pengadilan Tinggi (PT) Aceh menganulir putusan Pengadilan Negeri Meulaboh soal PT Kallista Alam. Perusahaan pembakar lahan itu pun diwajibkan membayar denda Rp 366 miliar. Kapan eksekusinya?
Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) mengapresiasi vonis banding yang dilakukan PT Aceh. Vonis tersebut dinilai sebagai kemenangan penyelamatan lingkungan hidup sebagaimana disuarakan banyak pihak. Meski demikian, LSM yang fokus mengawal kasus Kallista Alam tersebut masih punya satu harapan.
"Kami berharap segera lakukan eksekusi putusan sebelumnya yang telah inkrah. Putusan Nomor 12/pdt.G/2012/PN.MBO yang menghukum PT KA untuk memulihkan lahan dan membayar denda atas kerusakan lahan yg rusak akibat perbuatannya," kata tim Advokasi HAKA Nurul Ikhsan saat berbincang dengan detikcom, Senin (15/10/2018).
Kasus ini bermula ketika pada 2014 silam PT Kallista Alam dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan melawan hukum membakar lahan gambut tripa. Atas perbuatan tersebut perusahaan sawit ini dihukum ganti rugi sebesar Rp366 miliar.
Angka itu terdiri dari Rp 114 miliar tunai kepada KLHK melalui rekening kas negara dan Rp 251 miliar untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar. Luas lahan terbakar saat itu yaitu sekitar 1.000 hektare. Tujuan pemulihan ini agar lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya.
Tak terima dengan putusan itu, PT Kallista Alam mengajukan banding. Pada 15 Agustus 2014, Pengadilan Tinggi Banda Aceh mengeluarkan Putusan No. 50.PDT/2014/PT.BNA
dan memperkuat Putusan PN Meulaboh. Tak mau kalah, PT Kallista Alam selanjutnya mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, namun ditolak.
Pada 28 September 2016, PT Kallista Alam mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun berdasarkan Putusan Kasasi Nomor 1 PK/Pdt/2017, pengadilan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan PT. Kalista Alam. Sidang itu diketok pada 18 April 2017.
Sementara 3 November 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengirim surat No. S-103/PSLH/Gkm.1/11/2016 kepada Ketua PN Meulaboh perihal Permohonan Eksekusi.
Namun pada 8 November 2016, Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan surat penetapan Nomor 12/pen.pdt.Eks/2016/PN-Mbo yang pada pokoknya menyatakan menunda pelaksanaan eksekusi yang diajukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Setelah vonis MA dianulir PN Meulaboh, pihak terlibat kasus tersebut mengajukan banding ke PT Aceh. Vonis banding untuk kasus tersebut akhirnya diketok pada 4 Oktober 2018 dengan nomor perkara 80/PDT-LH/2018/PT.BNA. Duduk sebagai ketua majelis Djumali dengan anggota Petriyanti dan Wahyono.
"Menerima permohonan Banding dari Pembanding semula Tergugat tersebut. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 16/Pdt,G/2017/PN.Mbo, Tanggal 12 April 2018," putus majelis banding sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Senin (15/10/2018).
Menurut Ikhsan, putusan banding tersebut tidak hanya sebagai putusan hukum saja. Tapi mereka berharap vonis tersebut dapat menjadi sebagai langkah baru dalam penyelamatan gambut Rawa Tripa.
"Marilah kita bersama bergerak menyelamatkan fungsi alami kawasan gambut. Sebagai penghasil oksigen, penyimpan air dan lain-lain. Kawasan rawa gambut tripa juga berfungsi sebagai benteng alami yang semakin hari semakin rendah dari permukaan laut akibat dari pengelolaan yang tidak bijak dari kita," ungkap Ikhsan. dtc