Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Umumnya petambak udang mengenal udang vaname dan udang windu. Bagi petambak di Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, udang windu adalah yang paling tepat dibudidayakan di daerahnya. Namun mereka harus berjuang dalam mencari bibitnya, mendatangkannya dari Aceh.
Ketua Gabungan Kelompok Perikanan Budidaya Sepakat Sejahtera, Suhendra mengatakannya kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (18/10/2018). Dulu petambak pernah mencoba membudidayakan udang vaname namun selalu gagal. Dengan kincir sebagai penggerak air kolam, selalu membuat lumpur naik dan udang tidak bisa bertahan dalam kondisi demikian.
Sehingga, petambak lebih memilih udang windu daripada udang vaname. Walaupun harus mendatangkannya dari Aceh seperti Langsa dan Bireun. Mereka membelinya dengan harga Rp 50/ekor dari agen yang mengambilnya dari sana. Mengambil bibit udang windu dari Aceh sudah berlangsung sejak tahun 1980-an.
Dulu pernah petambak di Pantai Cermin, Serdangbedagai membudidayakannya namun tidak berlangsung lama lalu memilih membudidayakan udang vaname. "Pernah dulu kita ambil dari Pantai Cermin. Bagus kali kalau sekarang masih ada, selain dekat, udang juga tidak terlalu lama di dalam plastik, hanya dua jam saja sudah bisa langsung beradaptasi dengan iklim di sini," katanya.
Mengambil bibit udang windu dari Aceh adalah keterpaksaan karena tidak ada pilihan lain. Bibit udang windu yang didatangkan ke Sicanang dari Aceh memiliki tingkat kematian hingga 50%. Pasalnya, dibutuhkan waktu lebih dari 5 jam bagi bibit tersebut berada di dalam plastik baru kemudian dilepas.
Bibit udang yang dilepaskan ke kolam biasanya sudah lemas karena lama berada di dalam plastik. Bukan itu saja yang harus diterima petambak. Di usia 1,5 bulan, kerap sekali muncul penyakit yang menyebabkan insang udang menguning dan panu. "Bagaimana tidak, biasanya bibit itu sudah keturunan C, D, E. Kalau yang A dan B, sudah tidak kita dapatkan lagi," katanya.
Udang keturunan C , D dan E, memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat dan kematian yang tinggi hingga 50%. Dia sudah menyampaikannya kepada pihak terkait. Dia berharap keluhannya bisa didengar oleh pemerintah dan wakil rakyat agar lebih memperhatikan nasib petambak udang.
Suhendra mengatakan, saat ini petambak udang memerlukan bantuan eskavator untuk mengorek tambaknya. Menurutnya, pengorekan bermanfaat untuk meremajakan kembali lahan tempat hidup udang yang dibudidayakan petambak. Saat ini, pihaknya sedang mengurus keabsahan badan hukum lembaga yang dipimpinnya. "Pengorekan dengan eskavator itu bisa menjadi solusi bagi petambak," katanya.