Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Berada dalam kawasan rawan bencana tak membuat sistem peringatan dini tsunami di Provinsi Aceh bekerja dengan sempurna. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Teuku Ahmad Dadek menyebut dua dari enam unit sirene tsunami yang terpasang di lokasi berbeda sekitar kawasan pantai di Aceh, kini dalam kondisi rusak dan tentu tidak befungsi sebagaimana mestinya.
"Spareparts-nya rusak dan katanya tidak diproduksi lagi," kata Dadek kepada detikcom (5/10/2018).
Tak hanya soal kerusakan, Dadek juga mengeluhkan rencana Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk mengalihkan perawatan sirene tersebut pada pemerintah daerah. "Saya kira ini langkah keliru. Perawatan, biaya satelit, spare parts kan BMKG lebih berpengalaman," kata mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Barat itu.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menuturkan, setelah gempa dan tsunami Aceh, dibangun sebuah desain sistem peringatan dini tsunami. "Sistem itu dari monitoring gempa, processing, diseminasi, sampai perintah evakuasi," ujar Rahmat kepada detikcom di kantornya, Senin (15/10/2018).
"Sirene termasuk satu bagian peringatan dini itu. Desain awal BMKG bisa aktivasi seluruh sirene di Indonesia karena tombolnya juga ada di sini. Tinggal kami klik saja."
Seiring semakin sering terjadi bencana alam, kemudian disusun Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kemudian disusul pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Aturan itu, kata Rahmat kemudian menyebut perintah evakuasi merupakan kewenangan kepala daerah yang bisa saja didelegasikan ke Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana. Tugas dan wewenang BMKG seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang dan aturan turunannya tidak sampai memberi perintah evakuasi. BMKG hanya sebagai institusi yang memberikan informasi. "Seperti cuaca ekstrim atau warning tsunami itu tugas kami," kata Rahmat.
Respon atas informasi tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah. "Mau informasi tersebut didiamkan atau ditindaklanjuti dengan memerintahkan evakuasi. Membunyikan sirene itu sebagai salah satu bentuk perintah evakuasi. Kewenangan itu bukan berada di BMKG."
Rahmat menyatakan melihat aturan tersebut sebenarnya 52 sirene yang ada sudah tidak relevan berada di BMKG. Sebelumnya 9 sirene sudah diserahkan pada Pemerintah Provinsi Bali dan 6 lagi ke Provinsi Sumatera Barat. "Berkaitan dengan Aceh kalau memang ada yang tidak berfungsi menjadi tanggung jawab kami untuk diperbaiki dulu baru diserahkan. Kami akan serahkan dalam kondisi baik," ujarnya.
Keluhan soal biaya pemeliharaan, kata Rahmat, sebenarnya bisa disiasati. Pemerintah daerah bisa memutuskan sambungan satelit yang menghubungkan kantor BMKG di Jakarta dengan enam sirene tersebut.
"Saya kira cost-nya akan berkurang hampir 50 persen kalau sewa satelitnya dihapus," ujar Rahmat.
Selain soal teknologi peringatan dini tsunami yang tidak optimal masih banyak hal yang memperlihatkan memperlihatkan rapuhnya kesiapsiagaan daerah dalam menghadapi bencana.dtc