Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 78/2015, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2019 menjadi Rp 2,3 juta lebih. Naiknya hanya sekitar Rp 200.000, semula pada 2018 Rp 2,1 juta.
Sontak buruh di Sumut menolak. Tak terima atas kenaikan yang dinilai jauh dari upah hidup layak. Mengacu pada pasal 88 dan pasal 89 UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan seyogianya penetapan kenaikan upah mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL). Untuk itu terlebih dahulu harus dilakukan survey KHL yang mengacu pada 60 komponen perhitungan.
"Tidak cukup kalau kenaikan UMP hanya mengacu pada kenaikan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana diatur di PP 78/2015. Itu bertentangan dengan UU," kata Ketua Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Sumut Ahmadsyah atau Eben saat diwawancarai di sela-sela demonstrasi buruh yang tergabung dalam Aliansi Pekerja/Buruh Daerah Sumatra Utara (APBDSU) di kantor Gubernur Sumut di Jalan Diponegoro Medan, Selasa (6/11/2018).
Lebih jauh, ungkap Eben, penghitungan kenaikan UMP di Sumut tidak boleh disamakan dengan provinsi lain di Indonesia, seperti di Pulau Jawa. Sumut adalah penghasil bahan baku aneka industri yang nilai jualnya cukup tinggi. Sedangkan di Jawa adalah produsen konveksi, tekstil dan sebagainya. Industri di Pulau Jawa sangat tergantung dengan nilai ekspor yang saat ini sedang lesu atau merosot. Itu sebabnya kenaikan UMP di Sumut tidak pantas dihitung dengan rumus PP 78.
Menurut Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Sumut Amin Basri, dari catatan statistik yang mereka miliki pada Juni dan September 2018, kebutuhan hidup layak di Sumut yang terdiri atas 33 kabupaten/kota adalah Rp 2,9 juta. Oleh sebab itu kenaikan UMP Sumut tidak pantas kalau hanya Rp 2,3 juta.
Kenaikan UMP sebesar Rp 2,3 juta, terang Amin, sangat jauh selisihnya dari DKI Jakarta yang mencapai Rp 3,9 juta. Bahkan UMP Sumut berada di bawah Provinsi Riau, Kepri, Sumatera Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam.
"Tahun 2005 lalu selisih UMP DKI Jakarta dan Sumut hanya Rp 400.000, sekarang sudah Rp 1,6 juta," tegas Amin.
Eben menjelaskan kenaikan upah sebesar Rp 200.000/bulan setara dengan Rp 6000/perhari. Seharusnya setidaknya Rp 25.000/hari atau Rp 2,8 juta/bulan.
"Rp 6000 itu sama dengan harga lontong satu bungkus tanpa telur. Bagaimana Sumut bermartabat kalau upah buruhnya hanya naik senilai sebungkus lontong tanpa telur," kata Eben.
Itu sebabnya APBD SU menuntut agar Fiber Edy Rahmayadi mencabut keputusannya tentang kenaikan UMP yang cuma Rp 2,3 juta. Juga mendesak agar PP No. 78/2015 agar dicabut. Dinilai tidak manusiawi dan tidak adil.